Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
1 Ramadhan 1434 H
Bayangkan apa perasaan seorang musisi yang albumnya hanya terjual enam kopi saja? Bayangkan ketika dia sudah yakin betul bahwa karirnya sudah mati dan akhirnya menjalani masa tua dengan bekerja apa saja demi menghidupi ketiga anaknya, ternyata ada seseorang yang menghubungi untuk memberitahu bahwa dalam puluhan tahun belakangan, sesungguhnya albumnya laku keras di Afrika Selatan -melebihi popularitas Elvis Presley dan The Rolling Stones-?
Meski sekilas terdengar seperti dongeng, namun film dokumenter Searching for Sugar Man benar-benar menemukan musisi bernama Sixto Rodriguez tersebut. Film yang disutradarai oleh Malik Bendjelloul ini berpusat pada dua orang penggemar berat Rodriguez di Afrika Selatan yakni Stephen "Sugar" Segerman dan Craig Bartholomew Strydom. Mereka berdua menceritakan pengaruh musik-musik Rodriguez di Afrika Selatan. Dua albumnya, Cold Fact (1970) dan Coming from Reality (1971) benar-benar merasuki seluruh negeri hingga pemerintah sempat melarang lagunya yang berjudul Sugar Man karena dianggap punya pengaruh terhadap konsumsi obat-obatan di kalangan anak muda. Lagu-lagu Rodriguez juga, menurut Segerman, punya pengaruh kuat dalam gerakan revolusi anti-apartheid di negaranya.
Rodriguez kemudian tidak diketahui rimbanya. Kabar terakhir tentangnya hanyalah sebuah mitos yang mengerikan, yakni tentang kematiannya di atas panggung dengan cara membakar diri. Jika bertanya pada orang-orang di Amerika Serikat pun -tempatnya tinggal dan membuat album- ternyata tak ada yang pernah mendengar namanya. Namun Segerman dan Strydom tak lantas begitu saja menyerah. Mereka melakukan segala cara untuk menemukan sang legenda. Mereka mengumumkan sayembara di internet hingga menelusuri label-label yang pernah memproduksi albumnya.
Searching for Sugar Man adalah film dokumenter yang amat penting dan tidak terbatas bagi mereka pecinta musik saja. Film tersebut menunjukkan bahwa musik berkualitas tetap akan hidup meski ia tidak dikatrol oleh industri. Posmodernisme telah menciptakan mitos bahwa sesungguhnya kebenaran hanyalah tergantung siapa yang berkuasa. Namun ternyata hal tersebut tidak selamanya benar. Kebenaran masih ada yang absolut selama memang kebenaran tersebut jujur tanpa pretensi. Rodriguez mencipta musiknya dari hati, sehingga sampai pada pendengarnya meski jauh di ujung sana.
Rekomendasi: Bintang Lima
Comments
Post a Comment