Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.
Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya, justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas para penulis dan tokoh yang mengantarnya.
Testimoni dari para tokoh publik seperti Najwa Shihab, Basuki Tjahaja Purnama, dan Anies Baswedan mengawali buku ini. Ketiganya jelas berdampak besar pada persepsi publik. Namun, dari perspektif kritis, strategi ini secara retoris menghasilkan bias otoritas. Sebelum pembaca sempat menilai isinya, buku ini sudah diberi “sertifikat kebenaran” oleh figur yang dianggap berintegritas dan rasional. Paradoksnya, pembuka semacam ini justru bertentangan dengan pesan utama buku: bahwa kita mesti berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh otoritas.
Jika ditelusuri lebih dalam, Makanya, Mikir! memosisikan kegiatan berpikir dalam kerangka pragmatis: berpikir itu berguna, berpikir itu membuat hidup lebih efektif, berpikir itu membantu kita mengambil keputusan terbaik. Berpikir menjadi alat untuk mencapai sesuatu seperti tujuan hidup, karier, relasi, atau bahkan kebahagiaan pribadi. Dalam logika ini, berpikir bukan lagi kegiatan reflektif untuk memahami dunia, melainkan alat utilitarian untuk menavigasi dunia secara lebih efisien.
Di sinilah buku ini tampak berakar pada keyakinan yang khas dari modernitas liberal, yang menganggap setiap orang sebagai agen bebas yang memiliki kendali atas kehidupan mereka sendiri. Seluruh ajakan berpikir berpusat pada gagasan tentang kebebasan dan otonomi individu. Sepertinya semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk memilih dan berpikir logis. Meskipun demikian, asumsi ini mengabaikan struktur sosial dan ekonomi yang membentuk keterbatasan pikiran seseorang. Rasionalitas yang digagas di sini adalah rasionalitas pasar: berpikir kritis agar tetap kompetitif, efisien, dan berhasil—bukan agar lebih sadar akan struktur yang menindas atau mengendalikan.
Kesan tersebut diperkuat oleh referensi teoritis yang dipilih dalam buku ini. Misalnya, teori motivasi Herzberg dan piramida Maslow. Kedua teori ini muncul di masyarakat industri kapitalistik, di mana manusia dipahami melalui produktivitas, motivasi, dan kinerja. Dalam kerangka Maslow, puncak kebutuhan manusia adalah "aktualisasi diri", yang sering diartikan sebagai pencapaian individual. Namun, dalam banyak konteks non-Barat, aktualisasi diri dicapai melalui harmoni sosial, gotong royong, atau pengabdian pada komunitas. Selain itu, Herzberg mengaitkan motivasi manusia sebagian besar dengan dunia kerja. Buku ini seolah-olah menegaskan bahwa berpikir penting karena ia meningkatkan produktivitas, bukan karena ia membangun kesadaran kritis dan moral tentang dunia.
Rasionalitas semacam ini mencapai puncaknya ketika buku membahas Cost-Benefit Analysis (CBA) sebagai metode berpikir yang logis dan efisien. Di sinilah bayangan Jeremy Bentham muncul. Bentham, filsuf utilitarian Inggris abad ke-18, pernah merumuskan apa yang ia sebut sebagai felicific calculus—sebuah kalkulasi kebahagiaan yang mengukur seberapa baik atau buruk sebuah tindakan berdasarkan seberapa besar kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Prinsip ini tampak logis: jika tindakan A menghasilkan kebahagiaan lebih banyak daripada tindakan B, maka tindakan A adalah yang lebih baik secara moral.
Namun, sejak awal gagasan Bentham menuai kritik keras. Thomas Carlyle menyindirnya sebagai a philosophy for pigs—filsafat untuk babi. Kritik Carlyle tajam bukan karena ia anti-rasional, melainkan karena ia melihat bahaya ketika moralitas direduksi menjadi perhitungan untung-rugi kebahagiaan. Dalam kalkulus semacam itu, manusia kehilangan kedalaman moral; yang tersisa hanyalah makhluk kalkulatif yang mencari kebahagiaan seperti hewan mencari makan. Nilai-nilai seperti keadilan, empati, dan tanggung jawab sosial tidak bisa dimasukkan dalam rumus kebahagiaan Bentham karena sifatnya tidak dapat diukur secara kuantitatif.
John Stuart Mill, murid sekaligus pengkritik Bentham, juga menolak pandangan gurunya yang terlalu mekanistis. Mill berargumen bahwa tidak semua kebahagiaan bernilai sama; ada kebahagiaan yang lebih tinggi (intelektual, moral, estetis) dan kebahagiaan yang lebih rendah (fisik, material). Bentham mengabaikan perbedaan kualitas ini. Bagi Bentham, kebahagiaan adalah angka.
Logika Cost-Benefit Analysis yang diadopsi Makanya, Mikir! tampak meniru kalkulus Bentham tanpa sadar. Dalam analisis CBA, setiap keputusan dievaluasi berdasarkan rasio manfaat dan biaya: tindakan dianggap rasional bila keuntungannya lebih besar daripada kerugiannya. Namun, di sinilah bahaya moralitas kuantitatif kembali mengintai. Keputusan yang secara sosial destruktif bisa tampak rasional jika menghasilkan efisiensi yang tinggi. Dalam dunia neoliberal, logika ini mendasari hampir seluruh kebijakan publik dan keputusan korporasi (dari penggajian hingga privatisasi) dan kini, dalam bentuk yang lebih halus, bahkan menjadi pola berpikir personal: “apakah hubungan ini masih menguntungkan?” atau “apakah keputusan ini efisien bagi diriku?”
Gagasan tentang prinsip Pareto yang juga disinggung dalam buku ini memperlihatkan bagaimana logika efisiensi ekonomi diselundupkan ke dalam ranah berpikir dan pengembangan diri. Prinsip yang populer dengan rumus 80:20 (bahwa 80% hasil berasal dari 20% usaha) sekilas terdengar seperti nasihat produktivitas yang cerdas, namun secara ideologis menanamkan cara pandang yang sangat ekonomistik terhadap kehidupan. Dalam konteks bisnis, prinsip ini memang berguna untuk mengoptimalkan sumber daya, tetapi ketika diterapkan pada cara manusia berpikir dan mengambil keputusan, ia secara halus menyempitkan makna berpikir menjadi aktivitas yang harus efisien, terukur, dan berorientasi pada hasil pragmatis. Berpikir lalu diperlakukan seperti investasi yang menuntut return tertentu, seolah kontemplasi, keraguan, dan refleksi mendalam adalah bentuk “pemborosan kognitif”. Logika Pareto ini akhirnya memperkuat semangat neoliberalisme intelektual, di mana nilai suatu pemikiran tidak lagi diukur dari kebenaran atau kedalaman refleksinya, melainkan dari seberapa cepat dan efektif ia mendatangkan manfaat personal. Dalam kerangka semacam ini, berpikir bukan lagi jalan menuju pemahaman atau emansipasi, melainkan sekadar strategi manajerial untuk mengelola diri di dunia yang kompetitif.
Begitu pula dengan konsep self-interest yang diselundupkan dalam buku ini, yang sekaligus menjadi fondasi utama teori ekonomi klasik dan neoliberalisme. Adam Smith memang berargumen bahwa tindakan individu yang didorong kepentingan pribadi pada akhirnya bisa menghasilkan kebaikan bersama, seolah “tangan tak terlihat” akan menata harmoni sosial. Namun, dalam kenyataannya, prinsip ini telah menjelma menjadi pembenaran moral bagi perilaku kompetitif dan egosentris. Ketika berpikir rasional diartikan sebagai berpikir demi kepentingan diri, maka kemampuan kritis kehilangan sifat etiknya. Ia berubah menjadi alat justifikasi atas individualisme—bahkan dalam hal-hal yang seharusnya melibatkan empati sosial.
Menarik pula ketika buku ini mengutip Carlo M. Cipolla dan The Basic Laws of Human Stupidity. Dalam konteks aslinya, Cipolla membagi manusia dalam empat kategori: cerdas, naif, bandit, dan bodoh, dengan ukuran sejauh mana tindakan seseorang menguntungkan atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, penggunaan Cipolla di dalam Makanya, Mikir! tampak berfungsi sebagai alat kategorisasi moral tanpa dimensi sosial.
Dengan kata lain, kebodohan dilihat sebagai sifat personal, bukan hasil konstruksi sosial atau ketimpangan pendidikan dan informasi. Ini memperlihatkan bias neoliberalisme yang sama: bahwa kegagalan berpikir adalah kesalahan individu, bukan kegagalan sistemik. Dengan kata lain, ketika berpikir dikalkulasikan dalam logika untung-rugi, maka berpikir kritis kehilangan substansinya. Ia berubah menjadi manajemen rasional atas pilihan-pilihan hidup yang privat, bukan refleksi atas struktur sosial yang melingkupinya. Buku ini, tanpa disadari, menjadikan rasionalitas sebagai gaya hidup yang kompatibel dengan pasar: berpikir agar lebih produktif, bukan berpikir agar lebih sadar.
Konsekuensi dari semua ini adalah reduksi berpikir kritis menjadi keterampilan individual. Dalam versi ini, berpikir tidak lagi menantang tatanan, melainkan menyesuaikan diri dengannya. Rasionalitas yang diajarkan Makanya, Mikir! terasa aman, lembut, dan mudah dicerna, seperti produk konsumsi pengetahuan yang bisa dipasarkan. Bahasa yang santai dan komunikatif memang membuat buku ini populer, tetapi juga membuat ide-idenya lolos tanpa perlawanan intelektual. Pembaca mungkin merasa tercerahkan, padahal sesungguhnya sedang dikukuhkan dalam paradigma yang sama: bahwa berpikir adalah sarana untuk mencapai efisiensi personal, bukan untuk menggugat struktur sosial dan ideologi yang membentuk kesadaran itu sendiri.
Pada akhirnya, Makanya, Mikir! adalah buku yang penting bukan karena mengajarkan cara berpikir, tetapi karena mengungkap bagaimana rasionalitas hari ini bekerja. Ia menunjukkan bagaimana berpikir kritis bisa dijinakkan menjadi komoditas yang laku dijual, bagaimana logika efisiensi menggantikan refleksi moral, dan bagaimana filsafat Bentham yang dulu diejek sebagai “filsafat babi” kini hidup kembali dalam bentuk yang lebih sopan dan lebih laris. Buku ini mengajak berpikir, memang. Tapi mungkin, sebagaimana disindir Carlyle pada Bentham, pertanyaan yang harus kita ajukan kini bukan apakah kita sudah berpikir, melainkan berpikir untuk apa, dan untuk siapa.
Neoliberalisme intelektual dapat dipahami sebagai paradigma berpikir yang mengakar bukan hanya dalam kebijakan ekonomi, tetapi juga dalam cara manusia memahami diri dan dunia sosialnya. Ia menempatkan rasionalitas instrumental, yakni logika efisiensi, kalkulasi manfaat, dan pencapaian tujuan individual, sebagai ukuran utama dari kecerdasan dan kemajuan. Dalam konteks ini, berpikir bukan lagi sarana untuk memahami kebenaran atau keadilan, melainkan untuk mengoptimalkan keputusan demi kepentingan diri sendiri dalam sistem yang kompetitif. Dengan demikian, “berpikir kritis” direduksi menjadi keterampilan manajerial atas kehidupan pribadi, tentang bagaimana seseorang dapat mengambil keputusan yang “paling menguntungkan”, alih-alih refleksi etis atas struktur sosial yang melingkupinya. Neoliberalisme intelektual dengan halus membentuk manusia menjadi aktor rasional yang menilai dunia melalui matriks pasar: segala sesuatu dinilai berdasarkan nilai tukar, efisiensi, dan produktivitas, bahkan dalam ranah ide dan moralitas.
Comments
Post a Comment