Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
9 Ramadhan 1434 H
Alfred Hitchcock adalah sutradara yang senang sekali menyiksa penontonnya. Menyiksa dalam arti membuat tegang sekaligus penasaran -dan yang terpenting, tetap merengut di tempat duduknya-. Rope (1948) yang merupakan film pertama Hitchcok yang dibuat berwarna, adalah salah satu filmnya yang paling mencekam.
Cerita dalam film Rope sesungguhnya sederhana saja. Ini adalah tentang pembunuhan terhadap David Kentley (Dick Hogan) yang dilakukan oleh kedua temannya, Brandon Shaw (John Dall) dan Philip Morgan (Farley Granger). Motif pembunuhannya adalah semata-mata karena Shaw dan Morgan ingin mempraktikkan apa yang disebutnya sebagai "perfect murder". Maksudnya, mereka ingin menciptakan kejahatan yang sempurna, yang tidak sanggup dilacak oleh siapapun juga. Yang menarik, Shaw dan Morgan seolah menantang diri mereka dengan cara menjadi tuan rumah untuk sebuah pesta yang diadakan dengan beberapa kolega. Tepat di tengah-tengah pesta tersebut, disembunyikan mayat David Kentley secara rapi.
Film Rope terinspirasi oleh kisah nyata pembunuhan Bobby Franks oleh Nathan Leopold dan Richard Loeb pada tahun 1924. Motifnya sama, Leopold dan Loeb ingin mempraktikkan kejeniusan mereka lewat pembunuhan. Sebelum diangkat ke layar sinema oleh Hitchcock, terlebih dahulu kisah pembunuhan Franks tersebut diadaptasi ke dalam bentuk teater oleh Patrick Hamilton dengan judul Rope juga. Hitchcock kelihatannya terpesona dengan Rope dalam versi teater sehingga ia memutuskan untuk mempertahankan gaya teater tersebut ke dalam filmnya. Ia hanya menggunakan satu setting saja dan kamera jarang sekali melakukan pemotongan gambar (cut). Tercatat Hitchcock hanya sepuluh kali melakukan cut dalam film berdurasi 70 menit tersebut. Meski tanpa akrobat montage, Hitchcock tetap sanggup menciptakan thriller lewat akting dan dialog yang kuat. Film ini adalah peragaan kejeniusan sang maestro.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment