Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
13 Ramadhan 1434 H
Jim Morrison adalah ikon musik rock yang masuk dalam jajaran Klub 27 -adalah mereka yang meninggal di usia 27 tahun semacam Jimi Hendrix, Janis Joplin, dan Kurt Cobain-. Tidak hanya kematiannya di usia muda dan masa jaya yang membuat ia dikenang, melainkan juga karya-karya puitiknya yang diekspresikan melalui kelompok musik The Doors. Morrison adalah seseorang yang dipuja sekaligus dibenci. Ia dipuja karena kejeniusan dalam merangkai kata plus aksi panggung yang memikat, tapi ia juga dibenci karena ketidakmampuannya mengontrol diri akibat ketergantungan pada alkohol maupun obat-obatan. Hal yang terakhir ini yang menjadi titik berat film The Doors yang disutradari oleh Oliver Stone. Ia ingin menunjukkan sisi kehidupan Morrison yang menjadi pesakitan -yang membuat film tersebut justru kurang disukai oleh para personil The Doors seperti Manzarek, Krieger, dan Densmore-.
Film The Doors berpusat pada kehidupan Morrison (Val Kilmer) dari mulai ia mendirikan band The Doors hingga kematiannya. Dalam film berdurasi 2 jam 20 menit tersebut, yang dominan disorot adalah bagaimana ketergantungan Morrison pada alkohol dan obat-obatan membuat reputasi ia dan bandnya merosot perlahan-lahan. Morrison lebih banyak digambarkan sebagai pembuat onar -seperti misalnya kala di atas panggung, beberapa kali penampilan bandnya harus diakhiri sebelum waktunya karena sang vokalis terlalu mabuk-. Hubungannya dengan pacarnya, Pamela Courson (Meg Ryan), rekan-rekan satu band, produser rekaman, hingga polisi menjadi runyam akibat ketidakmampuan Morrison dalam mengendalikan diri.
Meski seperti lebih banyak menyoroti citra negatif dari Morrison -fakta yang ditolak oleh rekan-rekan bandnya-, namun film The Doors tetap merupakan karya Stone yang menarik. Pertama, akting dari Kilmer sangat baik dalam mengimitasi sang bintang. Kedua, adalah bagaimana Stone tampak asyik bermain dengan sorotan kamera yang goyang dan tidak stabil. Agaknya hal tersebut ditujukan untuk memberikan efek psikedelik agar sesuai dengan musik The Doors dan juga perasaan Morrison yang selalu berada di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan. Namun bagi mereka yang tidak mengenal Morrison dan The Doors, mungkin film ini akan kurang berkesan.
Rekomendasi: Bintang Tiga
Comments
Post a Comment