Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi.Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya peran Engels bukan hanya sebagai rekan Marx, tetapi juga sebagai penerus dan pengembang utama filsafat Dialektis Materialisme.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis kita dapati penganjur-penganjur terkemuka seperti Plato, Hume, dan Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit, dan Epikur di masa Yunani; Diderot dan Lamartine di masa Revolusi Prancis, yang berpuncak pada Marx–Engels. Di antaranya terdapat banyak ahli filsafat campur-aduk—scientists—setengah idealis, setengah materialis.Tan Malaka, melalui pemikiran Engels, menunjukkan adanya dua arus besar dalam sejarah filsafat: idealisme dan materialisme. Ia menjelaskan bahwa barisan idealis diwakili oleh para pemikir seperti Plato, Hume, Berkeley, hingga berpuncak pada Hegel, sementara barisan materialis berakar pada Heraklitus, Demokritus, dan Epikurus di Yunani kuno, lalu berkembang melalui Diderot dan Lamartine pada masa Revolusi Prancis, hingga mencapai puncaknya pada Marx dan Engels. Pemisahan ini bukan hanya bersifat historis, tetapi juga metodologis, menunjukkan perbedaan mendasar antara filsafat yang menekankan roh dan kesadaran (idealisme) dengan filsafat yang bertumpu pada kenyataan material (materialisme). Tan Malaka menambahkan bahwa di antara kedua kutub tersebut terdapat para filsuf dan ilmuwan yang masih bercampur pandangannya.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran untuk memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata didasarkan atas sikap yang diambil oleh sang pemikir dalam persoalan yang telah kita bahas sebelumnya, yakni: mana yang pertama (primus) dan mana yang kedua, benda atau pikiran, matter atau idea. Mereka yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme; mereka yang menempatkan materi sebagai asal mula, itulah kaum materialis. Sementara itu, cara hidup seseorang, apakah hidup sederhana, atau ingin serba lebih tanpa memperhatikan kesehatan diri dan kebaikan masyarakat, bergantung pada watak masyarakat serta pendidikan yang membentuk masing-masing individu.Tan Malaka, melalui Engels, menegaskan bahwa perbedaan antara idealisme dan materialisme berakar pada cara pandang mendasar tentang asal mula kenyataan: apakah dunia berasal dari pikiran atau dari benda. Pembelahan ini bukan hanya soal teori filsafat, tetapi juga mencerminkan orientasi hidup manusia. Cara seseorang berpikir dan bertindak, baik dalam kesederhanaan maupun dalam kerakusan, tidak lepas dari pandangan dasarnya terhadap dunia serta pengaruh pendidikan dan lingkungan sosial yang membentuknya.
Dengan dua sayap thesis di kanan, antithesis di kiri, dan badan synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi hingga silau mata sang pemandang. Bagi Hegel, absolute Idee ialah yang membentuk benda (Realität). ‘Die absolute Idee macht die Geschichte’ — absolute Idee-lah yang menciptakan sejarah dan termanifestasi dalam filsafat. Bukan filsafat yang membentuk sejarah, katanya, melainkan absolute Idee, yang pengungkapan sejatinya (deren nachdrücklichen Ausdruck) adalah filsafat itu sendiri. Maka, menurut Hegel, sejarah dunia dan masyarakat merupakan hasil karya absolute Idee, dan hal itu tergambar dalam filsafat. Di tempat lain, Hegel menyatakan bahwa negara dan zaman (der Staat und die Zeit) adalah Verwirklichung, atau penjelmaan dari absolute Idee. Absolute Idee ini identik dengan metafisika, gagasan yang tidak diciptakan dan tidak mencipta, yang tunggal, tak tunduk pada hukum sebab-akibat, hidup dan mati, serta melampaui ruang dan waktu. Ia adalah satu yang sempurna, yang terwujud dalam filsafat. Akhirnya, absolute Idee itu sepadan dengan metafisika—sesuatu yang gaib di luar ilmu alam, rohani, sebagaimana Dewa Rah dalam kepercayaan Mesir purbakala.Tan Malaka menjelaskan bahwa bagi Hegel, seluruh kenyataan dan sejarah lahir dari absolute Idee, sebuah gagasan mutlak yang menjadi sumber segala sesuatu, termasuk filsafat, negara, dan zaman. Absolute Idee inilah yang menciptakan dunia dan bukan sebaliknya. Melalui analogi “dua sayap thesis dan antithesis” yang menyatu dalam synthesis, Hegel digambarkan sebagai pemikir yang menembus batas rasionalitas hingga ke wilayah metafisika. Namun bagi Tan Malaka, pandangan ini menunjukkan bahwa filsafat Hegel masih terjebak dalam logika mistika: dunia dianggap sebagai hasil ciptaan roh atau ide gaib yang serupa dengan Dewa Rah dalam mitologi Mesir.
Feuerbach, seorang materialis besar yang dianggap sebagai jembatan antara Hegel dan Marx, pada awalnya juga menggunakan dialektika. Buah pikirannya ketika itu banyak memberikan alat pelajaran bagi Marx dan Engels. Namun setelah Feuerbach meninggalkan dialektika, sebagian besar karena hidupnya yang terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan—hasil pemikirannya pun menjadi jauh lebih mundur dibanding Hegel. Hegel dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang membatalkan dan buntu. Sedangkan Feuerbach dipandang sebagai ujung yang positif, yaitu pembuka jalan baru menuju dialektika materialistis. Kaum Marxis sepenuhnya mengakui kemanjuran senjata dialektika, tetapi menolak idealisme Hegel.Tan Malaka menempatkan Feuerbach sebagai tokoh transisi penting antara idealisme Hegel dan materialisme Marx. Ia menilai bahwa Feuerbach telah memberikan dasar berpikir materialis bagi Marx dan Engels, meskipun kemudian tertinggal karena meninggalkan dialektika dan hidup menyendiri. Di sisi lain, Hegel dilihat sebagai puncak pemikiran idealis yang buntu, karena berhenti pada gagasan roh mutlak, sementara Feuerbach membuka jalan bagi pembalikan arah ke materialisme.
"Negara,’ kata Marx, ‘ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan kelas.’ Perjuangan kelaslah yang menjadi motive-force, kodrat penggerak sejarah masyarakat, kekuatan yang mengubah bentuk negara — bukanlah ‘Absolute Idee’ seperti kata Hegel. Zaman perbudakan bertukar menjadi zaman feodal, zaman feodal setelah Revolusi Prancis 1789 berganti menjadi zaman kuno dalam pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada tiap zaman, tampak dalam bentuk yang berbeda: pada zaman perbudakan antara budak dan tuan, pada zaman feodal antara ningrat dan tani, antara pemimpin gilde dan anggotanya. Pada zaman kapitalisme sekarang, pertentangan itu muncul antara buruh dan kaum modal. Pertentangan kelas yang berakar pada pertentangan ekonomi inilah yang menjadi kekuatan penggerak masyarakat dari satu bentuk ke bentuk lain — dari masyarakat perbudakan, ke masyarakat feodal, hingga ke masyarakat kapitalis. Pertentangan ini bukan sekadar pertentangan ide, seperti dikatakan Hegel, melainkan pertentangan yang nyata — antara dua kelas besar yang terus berjuang hingga kini. Pertentangan kelas, yang berdasar atas konflik ekonomi dan dipertajam oleh kemajuan teknik, menunjukkan bahwa sejarah manusia dijalankan oleh kekuatan material, bukan oleh Absolute Idee, Dewa Rah, Rohani, atau Ahimsa.Tan Malaka menegaskan pandangan Marx bahwa sejarah manusia digerakkan oleh konflik material, bukan oleh gagasan abstrak seperti yang diyakini Hegel. Negara, menurut Marx, hanyalah hasil dari perjuangan kelas, bukan perwujudan dari ide mutlak. Dalam setiap periode sejarah, bentuk pertentangan berubah tetapi intinya sama: konflik antara kelas yang menguasai alat produksi dan mereka yang dieksploitasi.
Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel.Tan Malaka menggunakan dialektika bukan sekadar sebagai metode berpikir, melainkan sebagai senjata ideologis untuk memahami dan mengubah masyarakat. Ia memandang filsafat sejati sebagai refleksi perjuangan sosial, bukan spekulasi metafisis.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the working of the mind", kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman. Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment. Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.Tan Malaka menegaskan bahwa filsafat bukan lagi ruang spekulatif, tetapi telah berintegrasi dengan ilmu empiris. Ia mengafirmasi pandangan Engels bahwa dialektika dan logika adalah inti abadi filsafat karena keduanya menyediakan kerangka metodologis untuk memahami perubahan alam, masyarakat, dan pikiran manusia.

Comments
Post a Comment