Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
6 Ramadhan 1433 H
Tidak salah jika The Bridge on The River Kwai meraih tujuh Oscar. Film yang disutradarai oleh David Lean ini, meski berdurasi relatif panjang (161 menit), namun betah ditonton dari awal hingga akhir. Hal ini tidak lepas dari penampilan aktor-aktornya yang menawan, mulai dari Alec Guinness, William Holden, Jack Hawkins, hingga aktor Jepang, Sessue Hakayama.
The Bridge on The River Kwai berkisah tentang proyek pembangunan
jembatan yang digagas oleh Jepang dibawah pimpinan Kolonel Saito (Sessue
Hakayama). Meski demikian, pembangunan ini tidak dilaksanakan oleh
pekerja-pekerja Jepang, melainkan tentara-tentara Inggris yang menjadi tawanan.
Jembatan yang harus cukup kuat untuk dilampaui kereta api tersebut rencananya
menjadi penghubung antara Thailand
dan Burma.
Cara memerintah Jepang yang keras dan otoriter tidak disukai oleh pimpinan dari
tentara Inggris yaitu Letnan Kolonel Nicholson. Ia memilih untuk mogok dan
dihukum, ketimbang ikut serta dalam aturan Saito: Semua tentara Inggris tanpa
terkecuali bekerja membangun jembatan, termasuk para officers. Bagi Nicholson, atasan tentara semestinya bertugas
mengomando dan menjaga moral anak buahnya, bukan ikut serta dalam pekerjaan
kasar yang berarti juga dikomandoi oleh tentara Jepang.
Yang menarik adalah kenyataan
bahwa Saito juga bekerja di bawah tekanan. Jembatan harus jadi tepat pada
tanggal 12 Mei (berarti waktu pengerjaan adalah sekitar dua bulan), jika tidak
maka ia harus menjalankan seppuku
alias ritual bunuh diri. Ketertekanan Saito ini membuat ia mesti berdamai dengan
Nicholson dan melunakkan caranya dalam memerintah. Walhasil, proyek jembatan
pun menjadi lancar karena kedua pihak punya bargaining
position yang setara. Namun di seberang sana, ada misi yang juga dilancarkan oleh
tentara Inggris dengan Mayor Shears (William Holden) di dalamnya. Ada pihak yang ingin
menghancurkan jembatan dengan bom. Disinilah dilema sesungguhnya terjadi.
Cerita dalam The Bridge on The River Kwai –yang fiktif ini- terbilang
sederhana. Ditambah lagi dalam film ini tidak banyak aksi-aksi menawan ataupun
adegan-adegan dramatis. Kekuatan film ini terletak pada bagaimana David Lean
meramu alur cerita sehingga tidak terasa membosankan. Ditambah lagi,
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangat memberikan kekuatan dan
menampilkan satu karakteristik yang khas. Misalnya Saito, bisa berubah dari
yang awalnya penonton benci dibuatnya, menjadi simpatik di kala akhir.
Rekomendasi: Bintang Lima
Comments
Post a Comment