Buku Principia Logica (2022) terbitan Gang Kabel adalah perluasan disertasi Martin Suryajaya yang berhasil dipertahankan akhir tahun 2021 demi mendapatkan gelar doktor filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Buku tersebut tampak “angker” kemungkinan atas dua alasan: tebalnya yang mencapai delapan ratus-an halaman (dua kali lipat disertasi Martin) dan juga judulnya. Judul tersebut mengandung kata “logica”, yang bisa terbayang isinya adalah tentang logika, tetapi lebih dari itu, logika yang dibahas adalah hal-hal prinsipilnya (“principia”). Mengapa menakutkan? Logika sendiri sudah dipandang sebagai hal prinsipil dalam berpikir, sementara yang akan dibahas Martin adalah hal prinsipil yang melandasi logika, sehingga tergambar bahwa isinya adalah: hal prinsipil tentang hal prinsipil.
Atas dasar itu, saya merasa perlu untuk membacanya sampai tuntas dan menuliskan kembali dalam suasana yang “tidak terlalu angker”, supaya setidaknya para pembaca yang kurang familiar dengan topik ini terbayang apa yang sedang dikerjakan Martin dan bisa mengkajinya tidak benar-benar dari nol, tapi sudah ada sedikit pemahaman atau fondasi sebelumnya. Usaha menerangkan kembali gagasan Martin yang sangat rumit dan rinci ini tentu bisa jatuh pada penyederhanaan berlebihan. Terlebih lagi, dalam menjelaskan Principia Logica, saya mencoba untuk menghindari peristilahan yang terlalu teknis, apalagi masuk pada pembuktian matematis, agar hal-hal demikian dijelajahi sendiri oleh pembaca.
Pertama, ada berapa jenis logika yang kita ketahui? Bagi yang pernah belajar ilmu logika secara formal, mungkin di antara kita akrab dengan bentuk dan corak silogisme, hubungan segiempat proposisi, metode induktif, atau kerancuan berpikir informal (ini biasanya lebih disenangi). Apakah itu artinya kita sudah belajar seluruh sistem logika? Menurut Martin, belum, logika semacam itu (yang disebut logika Aristotelian), bukanlah satu-satunya sistem logika yang pernah diciptakan manusia. Ada banyak sistem logika lainnya, yang berkembang terutama sejak abad ke-19 hingga sekarang. Barangkali kita bertanya-tanya, bukankah logika Aristotelian sudah memberikan dasar berpikir yang memadai dan menyeluruh? Bukankah dengan belajar logika Aristotelian saja, kita sudah bisa mempunyai kemampuan berlogika yang kuat? Kenyataannya, tidak demikian. Logika Aristotelian mengandung serangkaian kelemahan dan sistem logika berikutnya dirakit untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut. Apakah selesai sampai di sana? Tidak, karena sistem logika terus berkembang dengan berbagai variannya dan ini adalah titik mula permasalahan yang diangkat oleh Martin.
Berbagai sistem logika tersebut berjalan sendiri-sendiri dan bahkan bisa saling menyalahkan. Hal demikian menjadi membingungkan: bukankah sistem logika dirakit untuk merapikan kerja pikiran kita? Jika sistem logika ada banyak dan seringkali malah saling bantai, bagaimana kita tahu mana yang tepat guna? Mungkin kita bisa pilih sistem logika mana saja yang dianggap praktis untuk kebutuhan tertentu. Namun hal demikian tidak memuaskan Martin. Sistem logika yang banyak ini mesti diposisikan atau bahkan didamaikan karena akan berdampak pada filsafat dan ilmu-ilmu. Keragaman sistem logika yang tidak saling berhubungan dan berjalan sendiri-sendiri atau bahkan saling menyalahkan ini oleh Martin disebut sebagai krisis fondasional logika. Jadi, jika ditanya, apa yang sedang dikerjakan Martin dalam Principia Logica? Jawaban paling mudah: memecahkan permasalahan krisis fondasional logika. Pertanyaan berikutnya: Bagaimana? Dengan cara apa? Untuk apa?
Apa yang membuat Martin begitu optimis dalam merumuskan hipotesis spektra logika tertata? Ia terinspirasi oleh apa yang disebut sebagai Program Erlangen. Program Erlangen dicetuskan oleh Christian Felix Klein pada 1871 dalam konteks kajian geometri. Program Erlangen berhadapan dengan aneka geometri dan berupaya mencari titik temu di antara keberagaman tersebut (PL, 307 – 308). Friedrich Mautner dan Alfred Tarski kemudian memperluas program Erlangen ke arah logika. Semangat itulah yang mendasari Martin: jika geometri bisa, semestinya logika juga bisa, apalagi sudah ada Mautner dan Tarski yang menginisiasi.
Penjelasan lewat Program Erlangen tersebut disebut sebagai aspek formal dalam krisis fondasional logika. Berikutnya, Martin mengkaji aspek material dengan mencari pendasaran metafisis dan epistemologis bagi spektra logika tertata. Apa itu pendasaran metafisis? Singkatnya, pendasaran yang menjelaskan hubungan antara kenyataan logis dan kenyataan fisik/ objektif, sementara pendasaran epistemologis menjelaskan hubungan antara pengetahuan manusia dan kenyataan logis. Lewat uraian yang cukup panjang (PL, 355 – 402), kita akan menemukan posisi metafisis Martin yang disebut sebagai realisme hiperintensional.
Untuk memahami posisi tersebut, penting kiranya untuk melakukan komparasi dengan posisi lain yang ditolak Martin yaitu realisme ante rem yang dianut oleh Gottlob Frege, yang secara umum diartikan sebagai posisi yang meyakini bahwa terdapat kenyataan logis yang mandiri dari semesta, yakni suatu alam ketiga di luar ranah subjektif dan objektif – empiris. Martin juga menolak kutub seberangnya, yaitu anti-realisme (dianut oleh Michael Resnik) yang meyakini bahwa logika hanyalah aturan berpikir yang bertopang pada konvensi atau struktur psikologis subjek penalar. Kedua kutub yang berlawanan tersebut dicoba untuk didamaikan oleh realisme in re dari Gila Sher yang menyatakan bahwa kenyataan logis adalah aspek atau sifat dari semesta fisik, yakni aspek yang tak berubah dalam permutasi sifat-sifat semesta fisik.
Martin menganggap ketiga posisi tersebut bermasalah dan melakukan modifikasi atas realisme ante rem Frege dengan mengecilkan aspek ontologisnya (yang mengacu pada asas logika klasik) dalam rangka mempostulatkan struktur formal dunia ke dalam spektra logika tertata sebagai penjumlahan seluruh permutasi logis dari dunia-mungkin dan takmungkin. Mudahnya, kita dapat mengatakan bahwa Martin setuju dengan Frege bahwa terdapat kenyataan logis yang terpisah dari dunia, tetapi andaian Frege terlalu luas. Martin menawarkan solusi dengan menyekatnya pada lingkup yang lebih spesifik melalui spektra logika tertata.
Selanjutnya, posisi epistemologis spektra logika tertata adalah rasionalisme hiperintensional. Untuk memahami posisi tersebut, perlu sedikit perbandingan dengan rasionalisme ekstrem yang dianut oleh G.W. Leibniz dan Frege, yang ringkasnya menekankan pengetahuan logis yang bersifat analitik a priori dan berakar pada ide-ide bawaan yang bersifat kodrati; dan kutub seberangnya, naturalisme ekstrem (dianut oleh W.V.O. Quine) yang merumuskan bahwa pengetahuan logis bersifat sintetik a posteriori dan dapat direvisi jika penerapannya dalam teori bertentangan dengan temuan empiris. Kedua kutub tersebut sebenarnya sudah dicoba didamaikan oleh naturalisme moderat dari Gila Sher yang menekankan bahwa pengetahuan logis berakar pada struktur a priori pikiran tetapi dapat difalsifikasi di hadapan temuan empiris yang memperlihatkan ketidakberlakuan pengetahuan logis itu.
Meski demikian, Martin tetap menganggap seluruh posisi tersebut bermasalah dan menawarkan gagasan tentang rasionalisme hiperintensional yang memungkinkan akses a priori atas dunia. Mudahnya, Martin menawarkan semacam jembatan menuju yang a priori tanpa perlu bergantung pada apa yang empiris atau a posteriori. Jika ditelaah dari dua posisi tersebut, tampaknya bagi Martin, segala-galanya adalah a priori.
Kedua posisi Martin tersebut (bersama posisi ketiga yang dijelaskan terpisah, yaitu konstruksionisme hiperintensional) bermuara pada cita-cita Martin untuk mewujudkan impian Gottfried Leibniz: filsafat sebagai mathesis universalis. Cita-cita Martin dapat ditunjukkan lewat kutipan tentang Leibniz yang dikutip oleh Martin sendiri:
“Leibniz mendambakan bahwa dengan penciptaan bahasa universal dan kalkulus penalaran, akan terwujud suatu mathesis universalis atau ‘ilmu universal’ yang dapat menyelesaikan semua permasalahan melalui perhitungan logis. Ia bahkan menulis seandainya keadaan itu terwujud, maka ‘ketika terjadi perbedaan pendapat, tidak perlu ada perbantahan di antara dua filsuf [...] keduanya cukup mengambil pena, menyiapkan alat hitung, dan ... berkata satu sama lain: mari berhitung [Calculemus]! (Bochenski 1961, 275 dalam PL, 109)”
Pertanyaannya, berhasilkan Martin mewujudkan impian Leibniz? Perlu ditekankan bahwa hipotesis spektra logika tertata adalah proyek yang belum selesai. Membutuhkan pengujian lebih lanjut agar hipotesis ini menjadi kokoh. Dalam Principia Logica, Martin menerapkan spektra logika tertata dalam menguraikan beberapa problem filsafat seperti problem makna dalam filsafat bahasa, problem pengetahuan yang diajukan Edmund Gettier dalam epistemologi, problem “masalah sulit kesadaran” (hard problem of consciousness) dalam filsafat akal budi, problem hak dalam filsafat politik, problem kausalitas dalam filsafat ilmu dan problem keberadaan Tuhan dalam filsafat ketuhanan (PL, 487 – 539). Melalui spektra logika tertata, Martin menunjukkan bahwa problem-problem tersebut dapat dipetakan letak masalahnya dan bagaimana pemecahannya.
Lalu, apa yang nantinya akan berubah jika ternyata hipotesis spektra logika tertata ini terbukti mampu memecahkan beraneka problem dalam filsafat? Martin kelihatannya keberatan dengan gaya berfilsafat selama ini yang berbasis objek. Bagi Martin, objek filsafat itu bisa apa saja (makna, pengetahuan, kesadaran, hak, kausalitas, Tuhan), tetapi hal yang lebih penting adalah struktur logis dalam memahaminya. Itu sebabnya, Martin berharap ke depannya cabang-cabang filsafat tidak lagi dibedakan berdasarkan objek-objeknya (filsafat pengetahuan, filsafat politik, filsafat seni, dan seterusnya), melainkan pada dua rumpun yaitu filsafat energi tinggi dan filsafat energi rendah. Filsafat energi tinggi membahas hanya logika dan hal-hal yang lebih mendasar dari logika (metalogika), sedangkan filsafat energi rendah membahas apapun berbasis objek.
Tentu saja tidak ada yang keliru dengan berfilsafat yang berbasis objek, tetapi menurut Martin, persoalan objek bisa selesai jika tataran logikanya yang lebih “diulik”. Jika bagian energi tinggi sudah dipahami, maka objek (beserta relasi-relasinya) akan bisa dijelaskan dengan sendirinya. Pokoknya, bagi Martin, tidak ada yang berada di luar logika, semua pasti bisa dilogikakan, bahkan termasuk hal-hal yang “tidak logis” sekalipun. Selama ini, para filsuf dianggap tidak sanggup mengatasi tantangan untuk berpikir tentang struktur, tanpa menjadikannya sebagai objek (disebut juga sebagai Metaparadoks Komprehensi). Itu sebabnya, muncul gagasan-gagasan seperti: Lao Tzu berusaha membicarakan Tao tanpa membicarakan Tao, Martin Heidegger berusaha memikirkan Ada tanpa menjadikannya pengada, Jacques Derrida berupaya memikirkan dunia tanpa terjebak dalam metafisika kehadiran (PL, 580).
Apa yang sebenarnya terjadi menurut pandangan Martin? Para filsuf berusaha membicarakan struktur di balik objek, tetapi terjebak dengan menjadikannya struktur tersebut menjadi objek yang lain. Terhadap keterjebakannya tersebut, sebagian filsuf kemudian menempuh “jalan mistikus”, semacam kesimpulan terburu-buru untuk menetapkan batas segala sesuatu sehingga simpulannya menjadi “apapun”. Menurut Martin, para filsuf tersebut semestinya tidak perlu menempuh “jalan mistikus” jika mereka tidak terjebak pada sistem logika yang hanya mengakui asas dwinilai, non-kontradiksi atau penyisihan jalan tengah.
Namun, bukankah hipotesis Martin tentang spektra logika tertata ini juga berpotensi menjebakkan dirinya menjadi objek? Di sini Martin tampak sudah mengantisipasi tuduhan demikian, dengan mengandaikan struktur sebagai sebuah kontinum, sebuah ‘kontradiksi hidup’. Penjelasan lengkapnya tentu tidak memadai untuk dijabarkan dalam artikel pengantar ini.
Apa yang saya tuliskan di sini hanyalah ringkasan sangat gegabah tentang delapan ratus-an halaman Principia Logica, yang aslinya begitu rumit, menantang dan menunjukkan bahwa ini bukan karya biasa, melainkan magnum opus. Hal yang sukar saya masuki dengan “otak kontinental” saya adalah beraneka pembuktian matematis yang digunakan Martin untuk mengokohkan argumennya (padahal separuh buku ini berisi pembuktian matematis). Selain itu, keterbatasan lainnya, adalah pemahaman atas tradisi filsafat analitik saya yang masih lemah dalam memahami gagasan-gagasan umum tertentu dalam buku ini (seperti tentang makna – rujukan, intensional – ekstensional, “masalah kuat kesadaran”, dan banyak lagi). Meski demikian, lewat pembacaan atas buku ini, dan juga usaha menuliskannya, saya menjadi belajar banyak.
Sebagaimana karya-karya besar lainnya, tentu buku ini membuka jalan untuk beraneka pendekatan sekunder lainnya: tulisan pembahasan bab per bab, penjelasan lisan via Youtube atau Podcast, diskusi-diskusi di komunitas atau forum akademik, atau bahkan buku tersendiri yang mengurai hanya pembuktian matematis dalam Principia Logica. Tulisan ini hanya pijakan awal, untuk membuat Principia Logica lebih aksesibel bagi banyak orang yang “takut duluan” sebelum bahkan menyentuhnya. Aslinya, jujur, memang menakutkan, tetapi sekaligus: mengasyikkan.
Comments
Post a Comment