Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Pendahuluan)

Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362. Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu. Bagian pendahuluan Madilog menunjukkan bagaimana Tan Malaka menulis dengan kesadaran simbolik tentang keadaan bangsa yang belum merdeka. Ia menuliskan tanggal menurut tiga sistem yaitu Jepang, Eropa (Gregorian), dan Hijriah untuk menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki “waktu” dan identitasnya sendiri. Artinya, bangsa ini belum berdiri sebagai subjek sejarah yang otonom; masih bergantung pada sistem dan penanggalan asing. Dengan cara ini, Tan Malaka menyindir kondisi kolonial dan menggugah kesadaran tent...

Komentar atas Madilog (Bab Pendahuluan)


Mokojobi, 15-6-2602. tanggal opisil kini, waktu saya menulis “Madilog’’. Dalam perhitungan “tuan’’ yang sekarang sedang jatuh dari tahta pemerintahan Indonesia itu bersamaan dengan Donderdag Juli 15, 1942. Murid bangsa Indonesia yang bersekolah Arab dekat tempat saya menulis ini, menarikkan pada hari kamis, bulan Radjab 30, 1362. Semua itu memberi gambaran, bahwa Indonesia sebenarnya belum bertanggal berumur sendiri. Indonesia tulen belum timbul dari tenggelamnya berabad-abad itu.
Bagian pendahuluan Madilog menunjukkan bagaimana Tan Malaka menulis dengan kesadaran simbolik tentang keadaan bangsa yang belum merdeka. Ia menuliskan tanggal menurut tiga sistem yaitu Jepang, Eropa (Gregorian), dan Hijriah untuk menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki “waktu” dan identitasnya sendiri. Artinya, bangsa ini belum berdiri sebagai subjek sejarah yang otonom; masih bergantung pada sistem dan penanggalan asing. Dengan cara ini, Tan Malaka menyindir kondisi kolonial dan menggugah kesadaran tentang pentingnya membangun dasar berpikir dan kesadaran nasional yang mandiri.
Dengan hampa tangan saya cari tulisan kedua pemimpin tadi yang bersangkutan dengan persoalan. 1. bagaimana tata negara Asia Raya, 2. Bagaimana kedudukan Indonesia Raya dalam Asia Raya cetakan militer Jepang itu, 3. Bagaimana tata negara Indonesia Merdeka sendiri, 4, 5…………ad.infinitum, yakni tidak berhenti seterusnya …………Kesimpulan: kedua pemimpin nasionalis sudah mulai menjalankan cita-citanya, ialah di bawah ujung pedang Samurai. Akhirnya perbedaan yang ketiga. Sedangkan kedua pemimpin tersebut disambut dengan kegirangan oleh pengikutnya secara resmi, seperti "bever’’ (berang-berang – catatan editor) yang terkenal tinggal di lubang yang dibikinnya di bawah air itu, saya masuk mesti memakai segala anggota keawasan, yang memang sudah terlatih dalam pelarian yang lebih dari 20 tahun lamanya. Apabila kelak sudah pasti bahwa golongan klas) yang saya pertahankan selama ini boleh menjalankan haknya, maka barulah kelak saya akan meninggalkan "sarang’’.
Bagian ini menyingkap kritik tajam Tan Malaka terhadap Soekarno dan Hatta yang ia anggap terlalu kompromistis terhadap Jepang. Ia menyoroti bahwa konsep Asia Raya yang digembar-gemborkan Jepang hanyalah alat politik imperialis baru, bukan bentuk solidaritas Asia sejati. Bagi Tan Malaka, perjuangan kemerdekaan Indonesia seharusnya lahir dari kesadaran dan kekuatan rakyat sendiri, bukan dari “ujung pedang Samurai”. Kalimat tentang dirinya yang “masuk mesti memakai segala anggota keawasan” menggambarkan keadaan pelariannya yang panjang dan kesadaran akan risiko besar dalam memperjuangkan ide nasionalisme yang murni dan mandiri. Ia menyadari bahwa selama kondisi sosial dan politik masih dikontrol kekuatan asing, gagasan tentang “Indonesia Merdeka” tidak akan benar-benar otonom. Dalam konteks ini, Tan Malaka juga menunjukkan jarak antara dirinya dan Soekarno-Hatta, baik secara fisik maupun ideologis. Sementara dua pemimpin nasionalis itu tampil di panggung publik dengan dukungan Jepang, Tan Malaka bergerak di bawah tanah, menyiapkan dasar filosofis bagi kemerdekaan sejati melalui Madilog.
Filsafat kaum proletar memang sudah ada, yaitu di barat. Tetapi dengan menyalin semua buku dialektis-materialisme dan menyorongkan buku-buku itu pada proletar Indonesia kita tiada akan dapat hasil yang menyenangkan. Saya pikir otak proletar mesin Indoensia tak bisa mencernakan paham yang berurat dan tumbuh pada masyarakat Indonesia dalam hal iklim, sejarah, keadaan jiwa dan idamannya. Proletar Indonesia mesti setidaknya dalam permulaan ini, mempunyai pembacaan yang berhubungan dengan pahamnya sekarang, pembacaan yang kelak bisa menjadi jembatan kepada filsafatnya Proletar Barat.
Di bagian ini, Tan Malaka menegaskan bahwa filsafat kaum proletar sejati, yakni filsafat materialisme dialektis yang berkembang di Barat (khususnya Marxisme), tidak bisa begitu saja disalin dan diterapkan mentah-mentah di Indonesia. Ia menyadari adanya perbedaan kondisi historis, sosial, dan kultural antara masyarakat Eropa dan Indonesia, yang membuat penerapan langsung ajaran Marx tidak akan efektif. Karena itu, Madilog ia tulis sebagai jembatan konseptual dan kultural. Buku ini bukan sekadar pengantar filsafat Barat, melainkan upaya adaptasi dialektika materialisme ke dalam konteks pikiran dan realitas Indonesia. Tan Malaka berusaha membangun basis berpikir rasional, ilmiah, dan kritis, sesuatu yang menurutnya masih langka di masyarakat yang terbiasa dengan pola pikir mistis, feodal, dan dogmatis. Dengan demikian, Madilog dapat dipahami sebagai proyek dekolonisasi nalar, yakni usaha untuk menumbuhkan cara berpikir ilmiah yang lahir dari tanah dan pengalaman Indonesia sendiri, namun tetap berakar pada semangat pembebasan kelas yang universal.
Bagi seseroang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup. Seorang tukang tak akan bisa membikin gedung, kalau alatnya seperti semen, batu tembok dan lain-lain tidak ada. Seorang pengarang atau ahli pidato, perlu akan catatan dari buku musuh, kawan ataupun guru. Catatan yang sempurna dan jitu bisa menaklukan musuh secepat kilat dan bisa merebut permufakatan dan kepercayaan yang bersimpati sepenuh-penuhnya. Baik dalam polemik, perang-pena, baik dalam propaganda, maka catatan itu adalah barang yang tiada bisa ketinggalan, seperti semen dan batu tembok buat membikin gedung. Selainnya dari pada buat dipakai sebagai barang bahan ini, buku-buku yang berarti tentulah besar faedahnya buat pengetahuan dalam arti umumnya.
Dalam bagian ini, Tan Malaka menegaskan bahwa pemikiran revolusioner tidak lahir dari ruang kosong. Ia mengibaratkan buku dan catatan sebagai “semen dan batu” bagi seorang tukang, bahan dasar yang mutlak diperlukan untuk membangun bangunan ide dan argumentasi. Melalui analogi ini, Tan Malaka menolak gagasan romantis tentang “inspirasi spontan”. Bagi dia, seorang pemikir sejati, terutama yang ingin membangkitkan kesadaran rakyat, harus bekerja dengan disiplin intelektual: membaca karya lawan, kawan, dan guru; mencatat dengan teliti; serta memahami medan gagasan yang ia hadapi. Dengan demikian, Tan Malaka juga sedang mendefinisikan dirinya sebagai intelektual pekerja, bukan pemimpi. Ia menulis Madilog bukan dari posisi akademik yang nyaman, tetapi dari persembunyian, dengan sumber bacaan terbatas. Namun justru dari keterbatasan itu, ia menekankan nilai kemandirian intelektual dan kerja keras dalam berpikir, sesuatu yang menjadi fondasi utama proyek Madilog sebagai filsafat pembebasan bangsa.
Buat keringkasaan uraian ini, maka perkataan yang bukan perkataan ini, saya namakan "jembatan kedelai’’ (ezelbruggece) walaupun tidak sama dengan ezelbruggece yang terkenal. Buat menjawab pertanyaan siapa yang akan menang di antara dua negara umpamanya, saya pakai jembatan keledai saya : "AFIAGUMMI’’. A huruf yang pertama mengandung perkataan Inggris, ialah (A)rmament. Artinya ini kekuatan udara kekuatan darat, dan laut. Masing-masing tentu mempunyai cerita sendiri dan A huruf pertama itu bisa membawa "jembatan keledai’’ yang lain seperti ALS, ialah susunan huruf pada perkataan (A)ir (udara), (L)and (darat) dan (S)ea (laut) forces (tentara). Sesudah dibandingkan perkara Armament diantara kedua negeri itu, maka harus diuji perkara yang kedua, yakni Finance, terpotong oleh huruf "F’’. keuangan dsb. Demikianlah "jembatan keledai’’ AFIAGUMMI ini saja boleh jadi meminta seperempat atau setengah brosure kalau dituliskan. Dalam ekonomi, politik, muslihat perang, science dan sebagainya saya ada menyimpan "jembatan keledai. Kalau buku penting yang saya baca ada dalam bahasa Inggris, maka "jembatan keledai’’ saya, susunannya tentu dari permulaan atau sebagian perkataan inggris. Kalau tidak beratus, niscaya berpuluh ada "jembatan keledai’’ di dalam kepala saya. "ONIFMAABYCI AIUDGALOG’’ yang berbunyi bahasa Sanskreta, bukanlah bahasa Sanskreta atau bahasa Hindu, melainkan teori ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi Mahatma Gandhi.
Bagian ini memperlihatkan cara berpikir Tan Malaka yang sangat terstruktur, rasional, dan efisien. Ia memperkenalkan konsep “jembatan keledai” sebagai alat bantu untuk mengingat, mengorganisir, dan menganalisis informasi kompleks—baik dalam politik, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan. Dalam konteks modern, ini bisa disamakan dengan mnemonik sistematis atau kerangka berpikir konseptual yang memudahkan seseorang memahami hubungan antarfaktor. Tan Malaka mencontohkan “AFIAGUMMI” yang mewakili urutan analisis dari Armament (kekuatan militer) hingga Finance (keuangan). Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya berpikir ideologis, tetapi juga analitis dan empiris, membangun cara berpikir logis yang bisa diaplikasikan untuk memahami dinamika kekuasaan, perang, dan ekonomi dunia. Menariknya, ia juga menyatakan bahwa “jembatan keledai” ini disusun dari berbagai bahasa seperti Inggris, bahkan “seolah-olah Sanskerta” yang sekaligus menandakan kemampuan linguistik dan fleksibilitas intelektualnya. Tan Malaka bukan hanya pengagum pengetahuan Barat, tetapi seorang pembelajar mandiri yang mengolah berbagai sumber untuk membangun sistem berpikirnya sendiri.
Kitab ini adalah bentuk dari paham yang sudah bertahun-tahun tersimpan di dalam pikiran saya, dalam kehidupan yang bergelora. Disinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya Logika. Selain dari pada itu, akan dijelaskan pula seluk-beluk dan kena-mengenanya materialisme, dialektika dan logika, satu sama lainnya. Baikpun materialisme ataupun dialektika, bahkan juga logika, masing- masing mempunyai lapangan dan tafsiran berjenis-jenis. Materialisme itu bisa ditafsirkan dengan cara yang mekanis secara mesin mati atau kematian mesin. Malah kaum mistika, kaum gaibpun bisa mempergunakan materialisme itu, buat memperlihatkan keulungan-sulapnya atau sulap-keulungannya. Dialektika yang berdasarkan pikiran dan kegaiban, yang pada Hegelisme melambung sampai ke puncak, masih terus menerus dipakai sebagai perkakas buat meluhurkan rohani dan merohanikan keluhuran. Pemikir borjuis dan pemikir feodal bergantung pada dialektika mistika itu seperti seekor semut hanyut bergantung pada sepotong rumput yang diayun-ayunkan gelombang. Logika memuncak pada ilmu bukti (Science) zaman sekarang dengan berjenis-jenis cabangnya ilmu itu. Hasilnya berjenis-jenis ilmu itu meulungkan dan menunggalkan kemanjurannya logika sebagai cara berpikir. Dengan begitu logika menyilaukan mata para pemakai penonton logika itu serta melupakan batas dan kelemahannya logika itu.
Bagian ini menjadi pernyataan programatik dari Madilog. Tan Malaka menjelaskan bahwa buku ini lahir dari akumulasi pengalaman, pembacaan, dan perenungan panjangnya selama bertahun-tahun hidup dalam pelarian dan perjuangan. Ia berusaha menyusun kerangka baru untuk memahami realitas Indonesia melalui tiga unsur utama: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Tan Malaka menyadari bahwa ketiga istilah tersebut telah mengalami penyimpangan makna dalam sejarah pemikiran. Materialisme kerap dipahami secara sempit dan mekanistik; dialektika diseret ke arah mistik-idealistik seperti dalam filsafat Hegel; sementara logika modern justru terjebak dalam kesombongan ilmiah (scientific arrogance) yang melupakan keterbatasannya sendiri. Karena itu, Tan Malaka ingin menyusun ulang hubungan antara ketiganya agar menjadi fondasi berpikir yang membumi, realistis, dan kontekstual bagi bangsa Indonesia. Ia menegaskan bahwa pemikiran ini bukan hasil kutipan buku belaka, tetapi hasil ingatan dan sintesis pribadinya, sekaligus pengakuan jujur atas kondisi keterbatasan sumber bacaan di tengah pelarian.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...