Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
7 Ramadhan 1433 H
Film ini punya hampir semua
syarat untuk menjadi film papan atas: Penampilan para aktor yang prima, jalan
cerita yang sukar ditebak hingga akhir, efek pertempuran yang canggih, kostum
istimewa, hingga latar istana dan pegunungan yang menawan. Meski demikian, Curse of The Golden Flower yang digarap
oleh Zhang Yimou ini punya sedikit kelemahan yang bisa jadi krusial: Penggarapan
musik. Musik yang ditata oleh Shigeru Umebayashi kurang bisa menopang pelbagai
adegan yang dramatik dan mempesona.
Film ini berkisah tentang intrik
di keluarga kerajaan antara kaisar (Chow Yun Fat), permaisuri (Gong Li), dan
ketiga anaknya yaitu pangeran Wan (Liu Ye), pangeran Jai (Jay Chou) dan
pangeran Yu (Qin Junjie). Kaisar dan permaisuri tidaklah akur. Di satu sisi,
kaisar berusaha meracuni permaisuri lewat racun yang disusupkan pada obat yang
rutin diminum permaisuri. Di sisi lain, permaisuri pun berupaya untuk mengudeta
kaisar lewat sang anak kedua, pangeran Jai. Intrik ini meluas keluar wilayah
keluarga ini setelah mengetahui bahwa ada affair
antara pangeran Wan dengan anak dari dokter kerajaan yakni Jiang Chan (Li Man).
Problem ini semakin kompleks setelah diketahui ada pertautan romantika antara
ibu dari Jiang Chan, dengan sang kaisar di masa lalunya.
Film ini meski didominasi oleh
dialog dan tidak banyak adegan kungfu yang khas muncul di film-film Cina, namun
kita bisa dibuat duduk bertahan dari awal hingga akhir. Hal tersebut tidak
lepas dari kekuatan akting Chow Yun Fat dan Gong Li. Disamping itu, warna-warni
yang dibentangkan oleh film juga membuat mata dimanjakan (ini terjadi sedari
pembuka film ketika ratusan dayang kerajaan bersalin pakaian). Adegan kolosal
berupa perang besar antara tentara kaisar versus tentara permaisuri di
menjelang akhir film juga –meski tidak seberapa dramatis tapi tetap- memberikan
kesan tersendiri. Jangan lupa, yang menjadi kekuatan Curse of The Golden Flower tentu saja kenyataan bahwa di balik citra
kerajaan yang tenang dan tanpa konflik, terdapat intrik yang begitu mendidih
dan siap meletus di waktu yang tepat. Jika bicara jalan cerita, film berdurasi
114 menit ini memang jempolan. Tapi jika yang diniatkan sutradara adalah
ke-kolosal-an, maka Curse of The Golden
Flower ini menyajikannya terlalu banyak. Ibarat martabak manis yang terlalu
melimpah susu dan kejunya.
Rekomendasi : Bintang Tiga Setengah
Comments
Post a Comment