Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Ringan



Dalam adegan pertempuran terakhir di film 300 (2006) yang mengambil latar peperangan Thermopilae, Leonidas, raja Sparta, melepaskan helm, jubah, dan tombaknya untuk menunjukkan penyerahan diri pada raja Persia, Xerxes. Penyerahan diri tersebut rupanya pura-pura saja. Leonidas sengaja melepaskan segala atribut perangnya, justru supaya tubuhnya lebih ringan demi melompat lebih tinggi, menghujamkan tombaknya yang berhasil menggores pipi Xerxes. Menurut sang narator, helm dan jubah itu terlalu memberatkan Leonidas. Jika tetap digunakan, maka sukar bagi sang raja Sparta untuk menjangkau Xerxes yang berdiri angkuh di atas singgasana. 

Kita bisa sekaligus melihatnya secara simbolik. Bahwa dalam bermasyarakat, umumnya kita mengejar "helm" dan "jubah" sebagai katakanlah, simbol kehormatan, suatu atribut untuk membuat kita menjadi terpandang di mata orang-orang. "Helm" dan "jubah" itu bisa berapa apapun, seperti taraf ekonomi, pendidikan, ketenaran, jabatan, dan lainnya. Namun seperti Leonidas yang ingin melompat lebih tinggi, hal-hal semacam itu kadang cuma membikin berat. 

Saya teringat pesan Sang Guru saat diajak ke pesantrennya: "Lepaskan dulu hal-hal yang membuat kita merasa penting di mata orang lain. Sekarang fokus saja bagaimana cara menjadi hamba yang baik." Untuk bisa bersujud, menempelkan kepala hingga ke tanah, sukar jika "helm" dan "jubah" masih dikenakan. Lepaskan dulu semua itu, supaya setelah tunduk sepenuhnya, kita bisa melompat - mungkin bisa diartikan sebagai lompat pada "Yang Maha", yang berada di "atas sana": seperti kedaton sang raja Persia.

"Helm" dan "jubah" telah ditanggalkan. Berjalan lebih ringan. Melompat lebih ringan. Sekarang tinggal menjangkau "Xerxes di singgasana". 

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...