Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Setiap hari saya bergaul dengan para pekerja lapak yang sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Obrolan yang terjadi bisa seputar omzet, candaan-candaan ringan, hingga curhat masalah pribadi. Masalah pribadinya begitu beragam, mulai dari korban KDRT, perselisihan dengan mantan suami, pacaran beda agama, sampai mengaku selingkuh karena tak cinta lagi pada suaminya.
Persoalan-persoalan pribadi itu sudah tak perlu dibahas. Yang saya amati lebih pada: hampir semua dari mereka punya pasangan, bisa pacar atau suami, padahal usia beberapa dari mereka sangatlah muda. Ada yang masih 24 tahun, 22, bahkan 19 sudah menikah.
Mungkin fenomena semacam itu wajar saja, tetapi saya coba memandangnya dari sisi yang lain. Mereka seperti ada keharusan untuk selalu punya pasangan. Semacam cara untuk melepaskan diri dari kehidupan orang tua yang kelihatannya sulit (menurut pengakuan mereka) sekaligus sebagai sandaran psikologis atas kerja-kerja yang alienatif sebagai penunggu lapak.
Pasangan yang dimaksud ini seringkali bukan berasal dari kalangan dengan pekerjaan yang lebih baik untuk menopang ekonomi mereka (jika berpasangan dibayangkan sebagai usaha meningkatkan taraf ekonomi), melainkan sekadar memenuhi kebutuhan akan afeksi, supaya bisa ayang-ayangan, menjadikan hari-harinya tak terlampau membosankan.
Tentu saja kehidupan berpasangan ini dibayangi oleh harapan akan kehidupan bersama yang lebih baik. Dua pekerja yang saling jatuh cinta, berjuang, bekerja keras, menghadapi kejamnya dunia, bermodalkan rasa percaya satu sama lain. Aspek moral semakin memperkuat ikatan ini: ayangku pekerja keras, dia ikhlas menjalankan hari-harinya yang berat demi masa depan kami.
Apakah mereka benar-benar mengubah hidupnya (setidaknya secara ekonomi) dikarenakan ayang-ayangan ini, saya tidak menggali lebih jauh. Yang pasti, kalau saya berkaca pada pergaulan dengan akademisi atau pemikir, perempuan-perempuan dari kalangan ini sebagian tak merasa perlu punya pasangan cepat-cepat, apalagi menikah dan punya anak. Sandaran afeksi pasti perlu, tapi tak selalu dengan cara punya pasangan. Kelihatannya kehidupan menyendiri, bagi sebagian orang, tampak lebih simpel dan membebaskan.
Teman-teman pekerja lapak ini mungkin juga punya pemikiran untuk hidup sendiri dan menikmati kebebasan, tetapi tak semuanya menganggap hal demikian adalah pilihan bebas. Pilihan yang dipandang realistis adalah mempunyai pasangan cepat-cepat sebagai sandaran agar bisa lepas sebagai beban orang tua, menghidupi afeksi dengan nilai sakral bernama cinta, sembari menjadikan agama, atau moralitas, sebagai perekat, membuat relasi menjadi diridhoi, dalam rangka menghadapi beraneka tekanan struktural.
Teman-teman pekerja lapak itu sebagian adalah lulusan SMP dan hanya sedikit diantaranya adalah lulusan SMA. Rata-rata mereka tak punya minat lagi meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Saya bisa paham. Bagi sebagian dari mereka, sekolah mungkin bisa mendorong nasib ke arah lebih baik. Tapi terlalu lama, terlalu buang-buang waktu, sedangkan masalah yang dihadapi adalah sekarang, di hadapan.
Dengan upah yang ada, mereka memilih bersyukur, menjalankan hidup yang telah dianugerahkan padanya. Memiliki pasangan membuat mereka tak harus sering-sering menggerutu dengan gaji yang (dalam pandangan saya) tak manusiawi.
Jiwa emansipatoris saya kadang bergejolak dengan kondisi semacam ini. Tapi siapakah saya sehingga punya otoritas untuk menjadi "pembebas"? Kadang saya ingin menyekolahkan sebagian dari mereka, minimal sampai lulus paket C, tetapi apakah mereka akan nyaman dengan kondisinya kemudian? Bagaimana jika kondisinya saat ini, bagi mereka, sudah membahagiakan? Bukankah justru saya, yang sekolah tinggi-tinggi ini, yang kerap gagal menemukan kebahagiaan?
Kehidupan foodcourt, lagi-lagi, mengacak-acak pikiran saya.
Comments
Post a Comment