Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Zoom In Zoom Out

Sejak terjun di dunia bisnis, saya menyadari sesuatu tentang dikotomi akademisi - praktisi. Memang kelihatannya praktisi ini adalah orang yang bergelut dengan kenyataan, langsung pada persoalan riil, menghadapi risiko nyata. Sementara akademisi, terutama di mata praktisi, tampak sebagai orang yang cuma bicara teori, "bacot doang", sementara masalah-masalah di lapangan seringkali berbeda dengan yang diteorikan (begitu ujar si praktisi).

Memang ada benarnya. Ketika terjun berdagang, banyak hal baru yang saya pelajari, yang tak pernah saya bayangkan selama belasan tahun menjadi akademisi. Misalnya, soal perencanaan. Akademisi biasanya jago soal membuat rancangan, merumuskan dari A sampai Z, hingga memperhitungkan risiko terburuk, sehingga seolah setiap langkah akan mampu diantisipasi. 

Namun dunia praktik tak selalu bisa dijalankan sesuai rancangan. Rancangan bisa terus berubah mengikuti keadaan. Bahkan keadaan ini juga seringkali sukar dimengerti. Sebagai contoh, saya sudah merasa dagangan saya ini prima, dengan bahan-bahan terbaik, lokasi yang bagus, dekorasi yang lumayan. Tetapi bisa saja di suatu periode yang buruk, penjualan tidak ada sama sekali. Teori pemasaran mana yang bisa bikin saya mengerti hal tersebut?

Sementara fase yang buruk tersebut bukanlah sesuatu yang hipotetikal, berada dalam perandai-andaian, melainkan nyata, sungguh-sungguh mengancam: saya makan sehari-hari bagaimana? Pegawai saya digaji bagaimana? Modal untuk menyambung jualan bagaimana? Disinilah mengapa praktisi sering mengklaim dirinya lebih tangguh ketimbang akademisi. Akademisi mungkin memikirkan semua itu, termasuk periode buruk dalam berbisnis, tetapi hanya dalam andaian-andaian di ruang kelas saja. "Profesor bisnis gakan bisa praktik langsung dagang dawet," begitu kata bos pemilik lapak es dawet yang berdagang di sebelah lapak roti saya.

Tapi begitu superiornya kah seorang praktisi di hadapan akademisi? Benarkah akademisi tak lebih dari sekadar orang yang "cuci tangan di hadapan realitas"? Meski saya sekarang sepenuhnya belajar praktik berbisnis, saya merasa nalar akademik tak pernah benar-benar meninggalkan. 

Apa itu nalar akademik? Yakni nalar dalam hal mencermati pola-pola, yang dengan tekun dan hati-hati melakukan zoom in zoom out atas satu per satu fenomena: mengamati secara mikro mulai dari posisi stiker yang ditempel pada kemasan, di mana sebaiknya roti-roti ditempatkan, sampai musik apa yang sebaiknya dimainkan. Sikap semacam ini diturunkan dari sejak Aristoteles, yang memilih untuk menelaah objek secara seksama, ketimbang melakukan derivasi segala-gala kenyataan dari dunia ide macam yang dijalankan oleh Platon. 

Nalar akademik tak berhenti di sana, melainkan juga meneropong dari kejauhan: membaca pola perilaku konsumen di jam tertentu, hari tertentu, minggu-minggu tertentu; melihat tren pasar, psikologis para pedagang tenant secara umum, sampai mekanisme kekuasaan yang berjalan dari pucuk Griya sebagai penentu kebijakan, sampai turunannya dalam bentuk satpam dan kasir. 

Perkara apakah nalar akademik berhasil membuat dagangan roti saya menjadi laku, itu urusan lain. Poinnya, begitulah kira-kira kerja akademisi: melakukan zoom in zoom out. Permasalahannya, terutama dalam melakukan zoom out, kadang kondisi sekitar mesti lebih tenang. Zoom out artinya membiarkan pikiran melakukan pengembaraan, menerawang dari ketinggian. Dalam konteks akademisi di sekolahan, ruang kelas itulah yang dipandang cukup ideal untuk tubuh supaya bebas dari tekanan eksternal, bisa fokus pada pengamatan dari kejauhan. Disinilah akademisi dituding elitis, "cuci tangan dari kenyataan".

Perlu diingat, dalam benak si praktisi, mereka tak melulu cuma bergulat dengan kompleksitas dari realitas, mengatasi satu per satu persoalan yang datang. Pada suatu fase, mereka ingin merumuskan semua perjuangan itu, menjadi semacam "buku manual" yang cukup merangkum pengalamannya. Disitulah si praktisi bertransformasi menjadi akademisi. Ketika pikirannya mulai ingin dibaca, ditiru, diikuti sebagai sebuah formula.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...