Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Pantulan




Beberapa tahun lalu, saya pernah berkonsultasi ke psikolog pernikahan. Ada sofa empuk, aroma teh hangat, dan tatapan yang penuh perhatian di seberang saya. Namun yang paling membekas justru bukan nasihat panjang atau petuah bijak. Psikolog itu, ternyata, lebih seperti sebuah cermin. Ia mendengarkan dengan penuh kesabaran, menyisipkan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, lalu perlahan menggali lebih dalam. Tetapi apa yang ia dengar, ia tanyakan, dan ia gali, pada dasarnya hanyalah pikiran dan perasaan saya sendiri. Ia memantulkan kembali, dan saya melihat diri saya dari sudut yang berbeda. 

Dari situ saya mulai bertanya-tanya: mungkinkah kehadiran orang lain seperti teman, sahabat, pasangan juga punya fungsi serupa? Kita sering mengira kita bercerita untuk memberi tahu orang lain apa yang kita alami, padahal diam-diam kita sedang berbicara kepada diri sendiri. Umpan balik mereka memang penting, tetapi inti dari percakapan itu adalah pantulan. Kata-kata kita keluar, membentur dinding empati mereka, lalu kembali lagi ke kita dengan bentuk yang sedikit berbeda: kadang lebih jernih, kadang lebih tajam. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak punya teman dekat, pasangan, atau bahkan ruang untuk bercerita? Saya rasa menulis bisa menjadi cermin yang setia. Dengan menulis, kita mengeluarkan pikiran dari kepala, menaruhnya di luar diri, lalu menatapnya kembali. Saat membaca ulang tulisan itu, kita bisa terkejut menemukan lapisan-lapisan emosi yang sebelumnya tak kita sadari. Membaca pun demikian. Kalimat-kalimat dalam buku sering kali berbicara seolah khusus untuk kita, memicu percakapan batin yang memantulkan gagasan dan perasaan kita sendiri. 

Saya jadi teringat kata-kata Sokrates: “Pengetahuan sejati datang dari dalam diri”. Mungkin inilah yang ia maksud bahwa semua jawaban yang kita cari sebenarnya sudah ada di kedalaman kita. Hanya saja, kita butuh pantulan untuk menemukannya. Psikolog, sahabat, buku, atau bahkan kesunyian, semuanya hanyalah medium untuk menyingkap lapisan-lapisan dalam itu. Sama seperti cermin tidak menciptakan wajah, pantulan juga tidak menciptakan kebenaran, melainkan menampakkannya. 

Di titik ini saya mulai berpikir: apakah doa juga termasuk bentuk pantulan? Saat kita berdoa, kita menyampaikan keinginan, kegelisahan, atau rasa syukur kepada Tuhan. Kita mengira kita sedang berbicara kepada sesuatu di luar diri kita, tetapi seringkali, dalam proses itu, kita justru mendengar kembali suara hati kita sendiri. Mungkin memang Tuhan selalu mendengar, tetapi doa juga membuat kita menjadi pendengar bagi diri kita. Ia mengubah keinginan samar menjadi kata yang jelas, mengubah rasa tak bernama menjadi ungkapan yang nyata. 

Akhirnya saya menyadari, pantulan itu tidak hanya membantu kita memahami apa yang ada di pikiran, tetapi juga siapa kita sebenarnya. Kadang pantulan itu menyenangkan, kadang menyakitkan. Tetapi tanpanya, kita akan berjalan tanpa pernah benar-benar melihat wajah kita sendiri. Entah melalui orang lain, tulisan, buku, atau doa, kita semua butuh pantulan untuk bisa mengenal diri. 

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...