Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Film porno adalah topik yang tak pernah benar-benar selesai dibicarakan. Ia seperti pintu yang tertutup rapat dalam percakapan publik, tapi diam-diam dibuka oleh banyak orang di ruang pribadinya. Ia tabu, sekaligus menggoda. Di satu sisi, kita diajarkan untuk menolak dan mengecamnya. Tapi di sisi lain, ia justru menjadi konsumsi diam-diam—sebuah kenikmatan yang muncul dari “dosa yang dilanggar”. Barangkali di situlah kekuatannya: bukan semata karena adegannya, tapi karena aura terlarangnya.
Tak bisa dipungkiri, industri porno juga punya sisi gelap yang besar. Mayoritas kontennya mengeksploitasi tubuh perempuan, mereduksi hubungan seksual menjadi semata soal penetrasi, posisi, dan klimaks. Tak ada ikatan budaya, tak ada afeksi manusiawi—yang ada hanyalah ilusi akan seks yang instan dan bisa diakses kapan saja. Layar menjadi panggung, tubuh menjadi objek. Dan di tengah itu, fantasi kolektif kita berjalan tanpa kendali.
Tapi, seperti pelacuran, film porno adalah industri abadi. Upaya pemblokiran, pemfilteran, bahkan kampanye moral tidak serta-merta bisa menghapusnya. Karena film porno bukan hanya soal rangsangan visual. Ia adalah bentuk pelarian. Dalam Civilization and Its Discontents, Freud menulis bahwa hasrat manusia ditekan terus-menerus oleh norma dan tatanan sosial. Kita tidak boleh sembarangan mengekspresikan keinginan kita di ruang publik. Maka kita cari saluran aman—di dalam ruang gelap, di balik layar laptop, bersama situs-situs yang kita tahu akan terus muncul meskipun diblokir.
Manusia punya fantasi, dan fantasi itu sering kali tidak bisa diredakan oleh pasangan, agama, atau moralitas sosial. Fantasi perlu ruang—dan film porno, suka atau tidak suka, memberikannya. Dalam satu adegan yang terkenal, Johnny Sins muncul sebagai dokter, pemadam kebakaran, bahkan guru olahraga—peran yang secara sadar karikatural, tapi justru menunjukkan bahwa pornografi bukan semata soal seks. Ia adalah panggung tempat fantasi kita melepaskan diri dari realitas, dari kewajiban, dari keseriusan hidup. Seolah-olah, lewat tubuh orang lain, kita sedang menghidupi hasrat yang tidak bisa kita jalani sendiri.
Tentu, ini bukan pembelaan atas seluruh praktik industri pornografi—apalagi yang melibatkan kekerasan, eksploitasi, atau penyimpangan. Tapi barangkali kita perlu jujur: bahwa ada sisi dari manusia yang tidak selalu bisa dipenuhi oleh etika dan tata krama. Dan selama hasrat itu ada, akan selalu ada panggung untuknya. Entah lewat layar, entah lewat cerita, entah lewat imajinasi yang tak pernah bisa benar-benar mati.
Comments
Post a Comment