Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Saya punya pasangan yang, sampai hari ini, masih suka ngedate sama orang lain. Bukan di belakang saya—semua atas pemberitahuan, atas izin, dan atas kesepahaman. Kami memang tidak menjalani relasi yang sepenuhnya konvensional. Tapi tulisan ini bukan sedang ingin membahas etika relasi terbuka. Saya justru ingin bicara tentang satu hal yang lebih mendasar: ngedate itu sendiri—aktivitas yang sangat familiar, tapi sebenarnya sangat tidak ada pakemnya.
Karena semakin lama saya memperhatikan, semakin saya yakin: tidak ada formula baku dalam urusan kencan. Banyak hal dalam ngedate yang sifatnya untung-untungan. Ada perempuan yang suka banget kalau dijemput di date pertama, ada juga yang merasa itu terlalu cepat dan membuatnya tidak nyaman. Ada yang senang diberi bunga, ada yang merasa itu cheesy dan membuatnya ingin pulang lebih awal. Bahkan gestur sekecil membuka pintu mobil atau memesan makanan bisa menimbulkan efek yang sangat berbeda—tergantung siapa yang kamu ajak, dan bagaimana pengalaman masa lalunya membentuk preferensinya hari ini.
Begitu juga soal arah hubungan. Ada orang yang pengennya dari awal tahu: ini serius atau main-main? Ada juga yang langsung illfeel kalau kencan pertama sudah terlalu “berat”. Ingin yang santai, cair, ngalir saja dulu. Dan tidak ada yang lebih benar dari yang lain—semuanya valid, semuanya wajar. Karena ngedate bukan soal aturan, tapi soal kecocokan: apakah dua orang bisa saling menangkap bahasa satu sama lain, tanpa perlu dikasih subtitle.
Yang lucu, pasangan saya yang sekarang ternyata suka dengan banyak gestur saya—padahal saya tidak melakukannya dengan perhitungan, apalagi strategi. Saya cuma jadi diri sendiri, dan kebetulan, it works. Gestur kecil yang mungkin tidak akan dihargai oleh orang lain, justru jadi titik jatuh hatinya. Saya pun tak tahu persis kapan itu terjadi. Mungkin sejak cara saya memesan makanan? Atau sejak saya menatapnya saat dia berbicara?
Saya tidak percaya pada cinta instan, tapi saya percaya pada pertemuan yang tidak disengaja tapi pas. Rasanya seperti mencari saluran radio, dan tiba-tiba frekuensinya ketemu. Tidak selalu jernih, kadang masih ada suara kresek-kresek, tapi cukup nyambung untuk dinikmati berdua. Mungkin itu yang orang sebut berjodoh—bukan karena kita sempurna, tapi karena kekurangan dan keanehan kita cocok pada frekuensi yang sama.
Saya tidak tahu sampai kapan saya dan dia akan bertahan. Hidup terlalu cair untuk ditebak, dan kami tidak sedang membuat perjanjian seumur hidup yang kaku. Tapi untuk saat ini, saya bersyukur. Bahwa saya bisa jadi diri sendiri dan diterima begitu saja, tanpa diminta meniru formula atau memainkan peran. Bahwa ada seseorang yang tidak hanya cocok pada rencana, tapi juga pada kebetulan. Kadang, yang paling berharga dari sebuah hubungan bukanlah stabilitasnya, tapi kenyataan bahwa dua orang pernah bertemu dalam kondisi yang paling jujur dan tidak pura-pura.
Comments
Post a Comment