Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Saya punya pasangan yang, sampai hari ini, masih suka ngedate sama orang lain. Bukan di belakang saya—semua atas pemberitahuan, atas izin, dan atas kesepahaman. Kami memang tidak menjalani relasi yang sepenuhnya konvensional. Tapi tulisan ini bukan sedang ingin membahas etika relasi terbuka. Saya justru ingin bicara tentang satu hal yang lebih mendasar: ngedate itu sendiri—aktivitas yang sangat familiar, tapi sebenarnya sangat tidak ada pakemnya.
Karena semakin lama saya memperhatikan, semakin saya yakin: tidak ada formula baku dalam urusan kencan. Banyak hal dalam ngedate yang sifatnya untung-untungan. Ada perempuan yang suka banget kalau dijemput di date pertama, ada juga yang merasa itu terlalu cepat dan membuatnya tidak nyaman. Ada yang senang diberi bunga, ada yang merasa itu cheesy dan membuatnya ingin pulang lebih awal. Bahkan gestur sekecil membuka pintu mobil atau memesan makanan bisa menimbulkan efek yang sangat berbeda—tergantung siapa yang kamu ajak, dan bagaimana pengalaman masa lalunya membentuk preferensinya hari ini.
Begitu juga soal arah hubungan. Ada orang yang pengennya dari awal tahu: ini serius atau main-main? Ada juga yang langsung illfeel kalau kencan pertama sudah terlalu “berat”. Ingin yang santai, cair, ngalir saja dulu. Dan tidak ada yang lebih benar dari yang lain—semuanya valid, semuanya wajar. Karena ngedate bukan soal aturan, tapi soal kecocokan: apakah dua orang bisa saling menangkap bahasa satu sama lain, tanpa perlu dikasih subtitle.
Yang lucu, pasangan saya yang sekarang ternyata suka dengan banyak gestur saya—padahal saya tidak melakukannya dengan perhitungan, apalagi strategi. Saya cuma jadi diri sendiri, dan kebetulan, it works. Gestur kecil yang mungkin tidak akan dihargai oleh orang lain, justru jadi titik jatuh hatinya. Saya pun tak tahu persis kapan itu terjadi. Mungkin sejak cara saya memesan makanan? Atau sejak saya menatapnya saat dia berbicara?
Saya tidak percaya pada cinta instan, tapi saya percaya pada pertemuan yang tidak disengaja tapi pas. Rasanya seperti mencari saluran radio, dan tiba-tiba frekuensinya ketemu. Tidak selalu jernih, kadang masih ada suara kresek-kresek, tapi cukup nyambung untuk dinikmati berdua. Mungkin itu yang orang sebut berjodoh—bukan karena kita sempurna, tapi karena kekurangan dan keanehan kita cocok pada frekuensi yang sama.
Saya tidak tahu sampai kapan saya dan dia akan bertahan. Hidup terlalu cair untuk ditebak, dan kami tidak sedang membuat perjanjian seumur hidup yang kaku. Tapi untuk saat ini, saya bersyukur. Bahwa saya bisa jadi diri sendiri dan diterima begitu saja, tanpa diminta meniru formula atau memainkan peran. Bahwa ada seseorang yang tidak hanya cocok pada rencana, tapi juga pada kebetulan. Kadang, yang paling berharga dari sebuah hubungan bukanlah stabilitasnya, tapi kenyataan bahwa dua orang pernah bertemu dalam kondisi yang paling jujur dan tidak pura-pura.
Comments
Post a Comment