Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Belakangan ini saya sering tenggelam dalam YouTube Shorts—bukan yang berisi prank receh atau motivasi instan, tapi potongan-potongan obrolan para legenda sepakbola seperti Jamie Carragher, Ian Wright, Gary Neville, Rio Ferdinand, sampai Roy Keane. Mereka duduk bersama, bercanda, kadang saling sindir, lalu menyusupkan kisah-kisah di balik pertandingan besar yang pernah mereka jalani. Dan entah mengapa, saya betah sekali menyimak mereka berbicara. Mungkin karena semua itu menyentuh satu masa ketika saya sendiri sangat memperhatikan sepakbola. Ketika saya tahu di mana posisi Beckham, bagaimana tendangan Henry, atau ekspresi kesal Roy Keane yang terkenal itu.
Tapi yang membuat saya terhanyut bukan sekadar soal taktik, gol, atau drama lapangan. Yang menarik justru ketika mereka mulai membuka fragmen-fragmen kecil—tentang percakapan di ruang ganti, tentang tekanan batin saat menghadapi penalti, atau bahkan tentang ketakutan tersembunyi saat menghadapi sorak-sorai stadion yang penuh. Mereka membongkar sisi-sisi manusiawi dari permainan yang selama ini hanya kita lihat dari skor dan statistik. Sepakbola ternyata bukan cuma soal menang dan kalah. Ia juga tentang rasa hormat yang disembunyikan di balik tekel keras, tentang luka batin yang tidak ditunjukkan di hadapan kamera, dan tentang pertemanan yang baru tumbuh setelah rivalitas mereda.
Yang lebih menyentuh lagi adalah bagaimana semua itu disampaikan sekarang—dari mulut mereka yang sudah pensiun. Tidak ada lagi nada kompetitif, tidak ada ambisi membuktikan siapa yang paling hebat. Hanya cerita-cerita yang dirangkai dari jarak waktu yang cukup untuk meredakan ego. Mereka yang dulu saling sikut di lapangan, kini duduk berdampingan sambil tertawa atas hal-hal yang dulu mereka anggap sangat serius. Persaingan yang dulu membakar, kini berubah jadi kenangan yang bisa dibagi. Dan saya jadi berpikir: betapa indahnya ketika kita bisa menoleh ke belakang bukan dengan dendam, tapi dengan senyum.
Mungkin begitu juga seharusnya hidup. Tak semuanya harus dinilai dari hasil akhir atau kemenangan. Kadang yang lebih penting adalah bagaimana kita mengingatnya nanti—apakah kita bisa tertawa atas kegagalan kita sendiri, bisa mengakui kehebatan orang yang dulu kita iri, dan bisa menyapa masa lalu tanpa beban ingin membalas. Karena pada akhirnya, seperti para legenda bola itu, kita semua akan pensiun juga dari banyak hal. Dari pekerjaan, dari ambisi, dari relasi-relasi yang pernah membuat kita tegang. Dan semoga, saat masa itu datang, kita punya cukup kelapangan untuk berkata: “Itu masa yang berat, tapi indah. Dan saya bersyukur pernah ada di dalamnya.”
Comments
Post a Comment