Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Tentang Obrolan Para Legenda Sepakbola



Belakangan ini saya sering tenggelam dalam YouTube Shorts—bukan yang berisi prank receh atau motivasi instan, tapi potongan-potongan obrolan para legenda sepakbola seperti Jamie Carragher, Ian Wright, Gary Neville, Rio Ferdinand, sampai Roy Keane. Mereka duduk bersama, bercanda, kadang saling sindir, lalu menyusupkan kisah-kisah di balik pertandingan besar yang pernah mereka jalani. Dan entah mengapa, saya betah sekali menyimak mereka berbicara. Mungkin karena semua itu menyentuh satu masa ketika saya sendiri sangat memperhatikan sepakbola. Ketika saya tahu di mana posisi Beckham, bagaimana tendangan Henry, atau ekspresi kesal Roy Keane yang terkenal itu. 

Tapi yang membuat saya terhanyut bukan sekadar soal taktik, gol, atau drama lapangan. Yang menarik justru ketika mereka mulai membuka fragmen-fragmen kecil—tentang percakapan di ruang ganti, tentang tekanan batin saat menghadapi penalti, atau bahkan tentang ketakutan tersembunyi saat menghadapi sorak-sorai stadion yang penuh. Mereka membongkar sisi-sisi manusiawi dari permainan yang selama ini hanya kita lihat dari skor dan statistik. Sepakbola ternyata bukan cuma soal menang dan kalah. Ia juga tentang rasa hormat yang disembunyikan di balik tekel keras, tentang luka batin yang tidak ditunjukkan di hadapan kamera, dan tentang pertemanan yang baru tumbuh setelah rivalitas mereda. 

Yang lebih menyentuh lagi adalah bagaimana semua itu disampaikan sekarang—dari mulut mereka yang sudah pensiun. Tidak ada lagi nada kompetitif, tidak ada ambisi membuktikan siapa yang paling hebat. Hanya cerita-cerita yang dirangkai dari jarak waktu yang cukup untuk meredakan ego. Mereka yang dulu saling sikut di lapangan, kini duduk berdampingan sambil tertawa atas hal-hal yang dulu mereka anggap sangat serius. Persaingan yang dulu membakar, kini berubah jadi kenangan yang bisa dibagi. Dan saya jadi berpikir: betapa indahnya ketika kita bisa menoleh ke belakang bukan dengan dendam, tapi dengan senyum.

Mungkin begitu juga seharusnya hidup. Tak semuanya harus dinilai dari hasil akhir atau kemenangan. Kadang yang lebih penting adalah bagaimana kita mengingatnya nanti—apakah kita bisa tertawa atas kegagalan kita sendiri, bisa mengakui kehebatan orang yang dulu kita iri, dan bisa menyapa masa lalu tanpa beban ingin membalas. Karena pada akhirnya, seperti para legenda bola itu, kita semua akan pensiun juga dari banyak hal. Dari pekerjaan, dari ambisi, dari relasi-relasi yang pernah membuat kita tegang. Dan semoga, saat masa itu datang, kita punya cukup kelapangan untuk berkata: “Itu masa yang berat, tapi indah. Dan saya bersyukur pernah ada di dalamnya.”

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...