Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Filsuf dan Mistikus


Tidak semua persoalan dapat dijawab dengan filsafat. Itu harus diakui. Ketidakmampuannya itu juga menjadi cibiran para mistikus yang menuding bahasa memang terbatas. Para mistikus ini melihat filsafat berputar-putar pada bahasa padahal ada hal-hal tertentu yang tak terjelaskan. Para mistikus memilih "diam", merenungkan dunia dengan penjelasan yang tidak berlebihan, supaya orang-orang lebih menghayati kehidupan dalam keheningan. Dampaknya, para mistikus ini bisa saja orang-orang yang tercerahkan, tetapi mereka tidak punya usaha keras untuk mencerahkan orang lain dengan semangat kesetaraan. Para mistikus kerap memperlakukan orang-orang yang "belum tercerahkan" sebagai orang-orang yang "tidak selevel". 

Bagi saya, keterbatasan filsafat itulah justru kelebihannya. Filsafat tidak mampu, tetapi selalu berusaha. Filsafat ingin menerangkan dunia dengan bahasa yang memang tak mampu merangkum segala, tapi itulah sarana terbaik yang memperlakukan orang-orang secara setara (karena setiap orang menggunakan bahasa). Bahasa filsafat memang tidak semuanya mudah dimengerti, tetapi bagi sebagian orang mungkin itu lebih baik ketimbang mengatakan "nanti juga kamu ngerti", "jalani aja dulu" atau "penghayatan orang beda-beda". 

Filsafat bukannya tidak percaya pada "yang mistik", tapi enggan untuk berhenti dengan mengatakannya sebagai "yang mistik" sehingga tak bisa diapa-apakan lagi. Melalui bahasa, filsafat mengurai "yang mistik" itu sehingga dapat dimasukkan ke dalam kerangka logika kita, yang maka itu bisa diotak-atik oleh setiap orang tanpa perlu "kemampuan khusus". Heidegger misalnya, ia bukannya tidak memiliki "dimensi mistikus", tetapi Heidegger berusaha sekuat tenaga mengungkapkannya, meski terkesan jadi rumit dan berputar-putar. Namun setidaknya ia tahu bahwa hanya lewat bahasa, orang tidak perlu menunggu untuk menjadi mistikus. 

Maka itu istilah metafisika dalam filsafat Barat bisa sangat berbeda dari pemahaman metafisika yang biasa dimunculkan dalam klenik, meski sama-sama secara etimologis diartikan sebagai "di balik fisik". Metafisika-nya filsafat bukan klenik, karena kita bisa memikirkannya. Setiap orang, meskipun dia anak-anak, bisa diajak untuk memikirkan "hal yang membuat X menjadi X" tanpa perlu membicarakan hal-hal mistis, misalnya. Anak-anak bisa diajak ngobrol tentang "Apakah alam semesta ini terdiri dari satu unsur, dua unsur, atau banyak unsur?" ketimbang menyuruhnya untuk "Kamu belum paham, nanti saja" seperti yang biasa ditekankan oleh para mistikus. 

Tiba-tiba ingat bagaimana guru filsafat saya, Bambang Q-Anees, membandingkan filsafat Barat dan filsafat Timur dalam sebuah ilustrasi yang sampai sekarang saya masih setuju, "Filsafat Barat menerangi orang lain, tapi dirinya sendiri tidak diterangi; filsafat Timur menerangi dirinya sendiri, tapi orang lain tidak diterangi." Begitulah perumpamaannya. Maka lebih indah bagi seseorang untuk memahami jalan mistikus untuk menerangi masing-masing, tetapi filsafat Barat baiknya juga dipelajari karena memiliki kekuatan dalam melakukan eksplanasi.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...