Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
"It's more than an airport. It's beyond expectation"
Akhirnya, hampir dua belas jam perjalanan yang melelahkan, sampai juga pada Incheon International Airport. Kalimat itu tertulis pada kereta yang mengantar kami dari wing satu ke wing yang lainnya (saking besarnya bandar udara ini). Katanya, ini bandara terbaik dunia, walaupun aku tak sempat menelusurinya karena kelelahan. Perjalanan ini harusnya tak selama ini, jika bukan oleh sebab transit di Malaysia hampir empat jam dan membuat perutku kerubukan. Makanannya menggelikan, bahkan mereka tak mampu membuat minuman kaleng yang enak. Kamu tahu semboyanku, bahwa cuma ada dua makanan di dunia: "Enak" dan "Enak sekali". Tapi Malaysia di luar opsi, aku menyematkan label "Tidak enak". Walaupun tentu saja ini generalisasi, aku belum pernah melihat keseluruhan Malaysia.
Sesampainya, aku mula-mula menyewa HP dulu dengan harga mencekik. Sekitar 3000 won atau 25rb an per hari. Biaya telepon 10 won per detik, dan sms 100 won sekali. SMS pun katanya tidak bisa internasional. Tapi aku lakukan itu untuk menemukan dua orang kawanku di Korea sini, yaitu Andri dan Roni. Tanpa nomor telepon Korea, aku agak sulit mengontak mereka karena aku kesulitan menggunakan telepon umum di sini!
Sayangku, cintaku, perjalanan satu setengah jam kemudian adalah dari Incheon menuju Seoul. Kami betul-betul kelelahan dan suasana mobil betul-betul seperti biara yang sunyi. Tempat kami menginap bernama Seoul KyoYuk MunHwa Hoekwan Hotel (bagaimana membacanya?). Hotel yang aku perkirakan sekitar bintang empat dengan fasilitas standar dan televisi semuanya berbahasa Korea (bahkan film Top Gun-nya Tom Cruise pun di-dubbing jadi Korea!)
Cerita hotel tentu saja tidak menarik, Sayang, seperti halnya kita bercerita tentang harga gedung dan catering. Tidakkah lebih baik kita berbincang tentang yang romantis, tentang bagaimana kita akan hidup hingga hari tua? Aku akan bercerita sesuatu yang romantis sekarang, yaitu perjuangan para delegasi Indonesia:
Berbeda dengan negara lain, Indonesia belum memasang karya-karya oleh sebab biaya pengiriman yang mahal. Kami memilih menenteng karya sendiri dan memasangnya di detik-detik akhir. Karena kami percaya, Sangkuriang pun membuat perahu dalam semalam. Kami dengan cekatan menggelarnya di lantai, memasangnya di dinding, hingga membuat delegasi lain terkagum-kagum. Apakah mereka tidak tahu, sayangku, bahwa kita adalah bangsa hebat, bisa mengatasi keterdesakan dengan gembira dan bahagia.
Demikian yang aku bisa ceritakan hari ini. Betapa kami senang bisa bertemu seniman se-Asia dan semua bertegur ramah oleh sebab ada satu yang menyatukan kita: "kegelisahan akan dunia". Demikian seniman itu gelisah selalu, karena ia menganggap apa yang dia rasakan seharusnya dirasakan juga oleh banyak orang di dunia. Delegasi Indonesia, yang kerap terpinggirkan (ini suudzon aku saja, Sayang, karena kami selalu ditempatkan di bis paling belakang dengan sesama negara berkembang seperti Vietnam atau Filipina), selalu sanggup menunjukkan jatidirinya yang aseli ketika terdesak. Dalam dua jam kurang, simsalabim, karya kami siap dipertunjukkan!
From the corner of the cafe, in the corner of Seoul, with all my heart.
Sesampainya, aku mula-mula menyewa HP dulu dengan harga mencekik. Sekitar 3000 won atau 25rb an per hari. Biaya telepon 10 won per detik, dan sms 100 won sekali. SMS pun katanya tidak bisa internasional. Tapi aku lakukan itu untuk menemukan dua orang kawanku di Korea sini, yaitu Andri dan Roni. Tanpa nomor telepon Korea, aku agak sulit mengontak mereka karena aku kesulitan menggunakan telepon umum di sini!
Sayangku, cintaku, perjalanan satu setengah jam kemudian adalah dari Incheon menuju Seoul. Kami betul-betul kelelahan dan suasana mobil betul-betul seperti biara yang sunyi. Tempat kami menginap bernama Seoul KyoYuk MunHwa Hoekwan Hotel (bagaimana membacanya?). Hotel yang aku perkirakan sekitar bintang empat dengan fasilitas standar dan televisi semuanya berbahasa Korea (bahkan film Top Gun-nya Tom Cruise pun di-dubbing jadi Korea!)
Cerita hotel tentu saja tidak menarik, Sayang, seperti halnya kita bercerita tentang harga gedung dan catering. Tidakkah lebih baik kita berbincang tentang yang romantis, tentang bagaimana kita akan hidup hingga hari tua? Aku akan bercerita sesuatu yang romantis sekarang, yaitu perjuangan para delegasi Indonesia:
Berbeda dengan negara lain, Indonesia belum memasang karya-karya oleh sebab biaya pengiriman yang mahal. Kami memilih menenteng karya sendiri dan memasangnya di detik-detik akhir. Karena kami percaya, Sangkuriang pun membuat perahu dalam semalam. Kami dengan cekatan menggelarnya di lantai, memasangnya di dinding, hingga membuat delegasi lain terkagum-kagum. Apakah mereka tidak tahu, sayangku, bahwa kita adalah bangsa hebat, bisa mengatasi keterdesakan dengan gembira dan bahagia.
Demikian yang aku bisa ceritakan hari ini. Betapa kami senang bisa bertemu seniman se-Asia dan semua bertegur ramah oleh sebab ada satu yang menyatukan kita: "kegelisahan akan dunia". Demikian seniman itu gelisah selalu, karena ia menganggap apa yang dia rasakan seharusnya dirasakan juga oleh banyak orang di dunia. Delegasi Indonesia, yang kerap terpinggirkan (ini suudzon aku saja, Sayang, karena kami selalu ditempatkan di bis paling belakang dengan sesama negara berkembang seperti Vietnam atau Filipina), selalu sanggup menunjukkan jatidirinya yang aseli ketika terdesak. Dalam dua jam kurang, simsalabim, karya kami siap dipertunjukkan!
From the corner of the cafe, in the corner of Seoul, with all my heart.


From the center of the office, in the center of Jakarta, with all my heart.
ReplyDelete