Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Surat Cinta dari Korea (2)

"It's more than an airport. It's beyond expectation"


Akhirnya, hampir dua belas jam perjalanan yang melelahkan, sampai juga pada Incheon International Airport. Kalimat itu tertulis pada kereta yang mengantar kami dari wing satu ke wing yang lainnya (saking besarnya bandar udara ini). Katanya, ini bandara terbaik dunia, walaupun aku tak sempat menelusurinya karena kelelahan. Perjalanan ini harusnya tak selama ini, jika bukan oleh sebab transit di Malaysia hampir empat jam dan membuat perutku kerubukan. Makanannya menggelikan, bahkan mereka tak mampu membuat minuman kaleng yang enak. Kamu tahu semboyanku, bahwa cuma ada dua makanan di dunia: "Enak" dan "Enak sekali". Tapi Malaysia di luar opsi, aku menyematkan label "Tidak enak". Walaupun tentu saja ini generalisasi, aku belum pernah melihat keseluruhan Malaysia.

Sesampainya, aku mula-mula menyewa HP dulu dengan harga mencekik. Sekitar 3000 won atau 25rb an per hari. Biaya telepon 10 won per detik, dan sms 100 won sekali. SMS pun katanya tidak bisa internasional. Tapi aku lakukan itu untuk menemukan dua orang kawanku di Korea sini, yaitu Andri dan Roni. Tanpa nomor telepon Korea, aku agak sulit mengontak mereka karena aku kesulitan menggunakan telepon umum di sini!

Sayangku, cintaku, perjalanan satu setengah jam kemudian adalah dari Incheon menuju Seoul. Kami betul-betul kelelahan dan suasana mobil betul-betul seperti biara yang sunyi. Tempat kami menginap bernama Seoul KyoYuk MunHwa Hoekwan Hotel (bagaimana membacanya?). Hotel yang aku perkirakan sekitar bintang empat dengan fasilitas standar dan televisi semuanya berbahasa Korea (bahkan film Top Gun-nya Tom Cruise pun di-dubbing jadi Korea!)

Cerita hotel tentu saja tidak menarik, Sayang, seperti halnya kita bercerita tentang harga gedung dan catering. Tidakkah lebih baik kita berbincang tentang yang romantis, tentang bagaimana kita akan hidup hingga hari tua? Aku akan bercerita sesuatu yang romantis sekarang, yaitu perjuangan para delegasi Indonesia:

Berbeda dengan negara lain, Indonesia belum memasang karya-karya oleh sebab biaya pengiriman yang mahal. Kami memilih menenteng karya sendiri dan memasangnya di detik-detik akhir. Karena kami percaya, Sangkuriang pun membuat perahu dalam semalam. Kami dengan cekatan menggelarnya di lantai, memasangnya di dinding, hingga membuat delegasi lain terkagum-kagum. Apakah mereka tidak tahu, sayangku, bahwa kita adalah bangsa hebat, bisa mengatasi keterdesakan dengan gembira dan bahagia.



Sibuknya delegasi Indonesia di menit-menit akhir

Demikian yang aku bisa ceritakan hari ini. Betapa kami senang bisa bertemu seniman se-Asia dan semua bertegur ramah oleh sebab ada satu yang menyatukan kita: "kegelisahan akan dunia". Demikian seniman itu gelisah selalu, karena ia menganggap apa yang dia rasakan seharusnya dirasakan juga oleh banyak orang di dunia. Delegasi Indonesia, yang kerap terpinggirkan (ini suudzon aku saja, Sayang, karena kami selalu ditempatkan di bis paling belakang dengan sesama negara berkembang seperti Vietnam atau Filipina), selalu sanggup menunjukkan jatidirinya yang aseli ketika terdesak. Dalam dua jam kurang, simsalabim, karya kami siap dipertunjukkan!

From the corner of the cafe, in the corner of Seoul, with all my heart.


Patra Aditia tengah memasang karyanya







Comments

  1. From the center of the office, in the center of Jakarta, with all my heart.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...