Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

O, Tuhan, untuk apa engkau menciptakan manusia?
Untuk membuatku tertawa-tawa, Nak. Agar aku tak sepi sendiri.
Apakah manusia itu sendiri harus ikut tertawa-tawa?
Harusnya iya, karena apalah hidup itu kalau bukan komedi.
Hanya itu?
Dan tragedi.
Jika sedemikian menyedihkannya, apa yang kau harapkan dari manusia, ya Rabbi?
Tidak ada. Menurutmu?
Jadi kehidupan ini sia-sia saja?
Kamu bisa pura-pura tidak, jika mau.
Bagaimana caranya?
Harapan.
Lalu, apa yang bisa dibanggakan dari manusia?
Mungkin, kebudayaan.
Apa itu kebudayaan, Ilahi?
Sesuatu yang membedakan kalian dari binatang.
Aku punya pertanyaan lain, apa itu agama?
Aku tak tahu. Bukan aku yang menciptakan.
Siapa?
Tanya saja temanmu.
Mengapa banyak yang kamu tak tahu, Rabb?
Karena aku menciptakan manusia mula-mula, dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang dimaui.
Apakah kamu menciptakan seperangkat aturan juga?
Tidak. Aku hanya menciptakan manusia.
Kalau begitu, kapan itu kiamat?
Aku belum bosan, sepertinya masih lama.
O, Tuhan, tolonglah aku!
Dari apa?
Dari kamu!
Comments
Post a Comment