Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Perihal Kematian



Tahun 2021, saya mengalami dua kali sakit parah. Pertama, bulan Juli, saat terpapar COVID-19 edisi Delta dan kedua, bulan Oktober, saat dada saya tiba-tiba terasa sesak dan dilarikan ke rumah sakit. Awal tahun 2022, saya pindah ke Jakarta, menandai fase hidup yang baru. Namun baru saja beberapa hari beres-beres, saya mengalami masalah serius pada pencernaan hingga harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini sampai tiga atau empat hari (saya lupa persisnya dan malas mengingat-ingat). Sejak rentetan kejadian itu, saya mulai merenungkan tentang kematian. Meski saya kerap membicarakannya via gagasan para filsuf, tapi hal-hal demikian hanya ada dalam pikiran, hanya sebagai teori, bahwa kematian adalah begini begitu, sedangkan sejak kejadian itu, dan sesudah-sesudanya: kematian adalah sesuatu yang nyata, hal yang begitu dekat dan saya sama sekali tidak mampu mengantisipasinya. Nyaris setiap saat saya mengalkulasi: oke usiaku sekarang segini, mungkin masih ada umur sekitar dua puluh tahun lagi untuk hidup, oke, itu cukup lama, aku masih bisa ini itu untuk menyiapkan kematian yang mungkin "damai". 

Setiap mendengar berita kematian, saya melakukan tanya jawab dengan diri sendiri: kenapa ya dia meninggal? Usianya berapa? Oh, masih jauh dari usia saya. Oh, penyebab meninggalnya karena sakit A, mungkin karena dia kebanyakan merokok, kurang olahraga, kurang konsumsi makanan bergizi, kalau aku tidak merokok, rajin olahraga, makan makanan bergizi, mungkin aku tidak akan terkena sakit A. Begitulah, saya membuat semacam rumus, bahwa kematian bisa agak-agak "dihindari" atau setidaknya tidak mesti menjalani derita terlebih dahulu, jika melakukan tindakan A B C D dan menghindari tindakan E F G H. Kalkulasi semacam itu, saya sadar, tidak lebih dari penghiburan yang sangat mengada-ngada: kematian tidak berjalan dalam rumus-rumus demikian. Bahkan kalaupun seseorang telah menerapkan berbagai hidup sehat lahir batin, itu tidak berarti ia dijauhkan dari intaian sang maut. 

Jujur, meski saya khawatir akan kematian, saya tidak terlalu khawatir dengan apa yang menanti setelah mati. Konsep akhirat memang menenangkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Lebih baik jika hal demikian tidak perlu dipikirkan, setidaknya untuk saat ini, dan fokus sebisa-bisa pada apa yang dilakukan di dunia. Pada beberapa kejadian saya mengalami sakit serius sebagaimana telah disinggung di atas, saya membayangkan kematian di hadapan. Namun pada saat bayangan akan kematian itu tiba, saat saya benar-benar berada di "sana", saya tidak dalam andaian seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Ketika momen itu "tiba", kita ada di momen "itu", bukan renungan tentang momen "itu" sebagaimana kita pernah pikirkan. Seperti saat kita membayang-bayangkan bertemu A, tapi saat bertemu A, bayangan itu tidak sepenuhnya sama, bahkan banyak bedanya, bahkan buyar sekalian. 

Hiburan lain yang bisa saya ajukan adalah ini: kematian adalah hukum alam yang tidak bisa ditolak. Hal yang membuatnya menakutkan, bisa saja akibat konstruksi peradaban yang menganggap mati adalah suatu kemunduran, suatu hasil yang buruk dari apapun. Selain itu, kematian juga menjadi menyedihkan, karena kerap dihubung-hubungkan dengan dimensi etis. Dalam hal ini, Mba Upie membuat saya tercerahkan, dengan mengatakan bahwa kematian bisa juga dipandang dalam kerangka estetis. Iya juga ya: sehebat-hebatnya pertunjukan, tidak akan menjadi hebat jika tidak diakhiri.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...