Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Tentang Demotivasi III


Setelah menulis Demotivasi I (2020) dan Demotivasi II (2021), rasanya saya perlu menggenapkan (atau mengganjilkan) jumlahnya menjadi tiga dengan menulis Demotivasi III - supaya mungkin lebih bagus terdengar sebagai trilogi ketimbang dwilogi (yang mengingatkan saya pada Padang Bulan-nya Andrea Hirata). Namun itu bukan artinya bahwa Demotivasi III adalah penutup. Bisa jadi, saya menulis lagi sampai IV, V, VI, dan seterusnya. Entahlah. Menulis yang pertama saja awalnya cuma sekadar impulsif, mencari cara bertahan hidup di masa pandemi, dan ternyata penjualannya tidak buruk, sehingga saya memutuskan menulis yang kedua, sekalian mengerucutkan renungan tentang demotivasi itu sendiri. Jadi, menulis hingga jilid tiga tidak pernah saya rancang sejak awal dan begitu saja terjadi. Dengan demikian, saya juga tidak berani memprediksi apakah Demotivasi akan ditutup di edisi tiga atau masih akan ada edisi-edisi berikutnya.

Untuk jilid ketiga ini, saya mencoba mengambil beberapa jalur yang berbeda dari Demotivasi I dan Demotivasi II. Misalnya, soal penerbit. Pada Demotivasi III, saya memilih untuk bekerjasama dengan penerbit Yrama Widya (dua edisi sebelumnya, Demotivasi diterbitkan oleh penerbit Buruan & Co.). Penerbit Yrama Widya ini mungkin kurang dikenal di pergaulan penerbitan indie karena fokusnya memang lebih banyak pada buku-buku pelajaran dan latihan soal. Buku Demotivasi IIIini akan jadi buku saya yang kedua yang diterbitkan oleh Yrama Widya setelah buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang rilis bulan Mei kemarin. Mengapa memilih penerbit Yrama Widya? Ya, saya ingin mencoba bekerjasama dengan penerbit mayor. Selain tidak perlu membayar ongkos cetak, juga distribusinya bisa lebih luas. 

Selain itu, terkait desain sampul, saya memutuskan untuk mencari desainer sendiri dan dipilihlah Nadya Noor, desainer ilustrasi sampul buku biografi Derrida. Ini alasan selera personal saja, karena suka dengan desain-desain Nadya. Selain itu, supaya agak "tidak terduga", karena sampul Demotivasi I dan Demotivasi II ada "kesamaan sifat", maka Demotivasi III ini ingin "keluar dari pola sebelumnya" dengan memasukkan banyak ornamen dan "motif Islami". Saya melihat Nadya terampil sekali dalam membuat desain-desain yang ornamentatif. Di bagian belakang sampul, rencananya saya akan memasukkan foto Zulkifli Songyanan dengan pose seperti K.H. As'ad Humam di buku Iqro. Kenapa foto Zulkifli dan bukan foto saya? Entah kenapa, wajah Zulkifli lebih pas, itu saja. Selain itu juga, untuk sekadar mengelabui. Pembaca yang belum pernah bertemu atau melihat foto saya mungkin akan mengira yang dicantumkan di bagian belakang sampul itu adalah foto saya. 

Kemudian berhubungan dengan isinya, saya merasa Demotivasi III ini lebih serius. Tentu saja aspek jenakanya mesti ada sebagai ciri khas, terutama dalam quotes, tapi khususnya terkait esai, saya mencoba memasukkan topik-topik yang berhubungan dengan anarkisme dan marxisme, plus perkara metafisika dengan membahas tema "yang klise". Apa itu "yang klise"? "Yang klise" dalam hal ini menunjuk pada kalimat motivasi. Sebagian orang yang mulai meninggalkan kalimat motivasi, bagi saya, bukan disebabkan oleh makna semantik dari kalimat tersebut, melainkan karena sudah "klise", sudah terlalu sering diucapkan sehingga siapapun menjadi bosan. "Yang klise" ini saya tarik pada banyak hal, pada kenapa kita merasa perlu untuk kreatif, berinovasi, melahirkan sesuatu yang "baru", bukan karena yang dulu itu semata-mata keliru, tetapi karena yang dulu itu sudah "klise" sehingga tampak "keliru". Kita merasa gagasan Plato sudah usang, mungkin bukan karena kenyataan dunia hari ini membuktikan sebaliknya, tetapi karena yah, sudah tahun 2022, masa masih menggunakan pikiran Plato? Padahal mungkin Plato tidak keliru, bahkan ia akan selalu relevan di masa manapun. Namun kita perlu penyegaran, perlu melawan "yang klise", sehingga lahir modifikasi atas pemikiran Plato, atau bahkan pendapat yang bertentangan. Demikian, jadinya, demotivasi menyadarkan kita akan "yang klise", sehingga kalimat motivasi menemukan maknanya kembali dan tidak dipandang sebagai suatu gagasan yang usang. Tidak ada yang salah dengan kalimat motivasi kecuali karena kalimat semacam itu diproduksi terus menerus hingga kita merasa muak. Yang "salah" adalah ke-"klise"-an-nya. 

Pada awalnya saya tidak merencanakan bahwa Demotivasi pada perkembangannya akan menjadi gagasan yang mengarah pada perjuangan kelas (sehingga saya merasa perlu untuk menambahkan perkara marxisme). Bahkan konsep tersebut sempat menimbulkan pertanyaannya: bagaimana jika Demotivasi membuat seseorang untuk abai, masa bodoh, tidak peduli sekitar, sehingga tidak merasa perlu untuk melawan, atau bertindak keadilan? Namun lewat berbagai diskusi, dan pengamatan terhadap dampak-dampak Demotivasi bagi pembacanya, terlihat bahwa yang muncul justru sikap kritis. Sikap kritis ini datang karena ternyata sebagian besar perusahaan dan tempat kerja, menerapkan konsep motivasi dalam kerangka modus eksploitasi. Artinya, motivasi sudah bukan lagi muncul dari mulut para motivator, tapi tertanam dalam sistem bisnis yang mendorong pekerjanya untuk terus memproduksi nilai lebih. 

Dalam Demotivasi III, saya juga memasukkan kaitan antara demotivasi dan pendidikan, demotivasi dan seni, hingga demotivasi dan olahraga. Oh iya, terdapat bonus lampiran berupa latihan soal demotivasi (supaya selaras dengan spirit penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku latihan soal). Seperti yang sudah-sudah, Demotivasi selalu dibuka dengan kata pengantar. Demotivasi I dibuka oleh Romo Setyo, sementara Demotivasi II dibuka oleh Saras Dewi. Pada Demotivasi III, saya meminta Meutya Hafid untuk memberi kata pengantar dan ia bersedia. 

Sisanya, saya tidak perlu banyak menceritakan di sini dan mari nantikan rilisnya di bulan November.


Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...