Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Tentang Bambang Sugiharto



Duduk manis di kelas Pengantar Filsafat yang diampu oleh Prof. Bambang Sugiharto, sebagai bagian dari persiapan mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR awal tahun depan. Waktu Pak Bambang bicara di depan tadi itu, pikiran saya melayang-layang karena masih ngantuk. 

Teringat di tahun 2003, kala baru lulus SMA, saya punya cita-cita masuk Fakultas Filsafat UNPAR. Saya sangat serius waktu itu, hingga suatu malam bapak berkata, "De, bapak sudah konsultasi sama teman, namanya Pak Bambang. Katanya jangan masuk situ, karena itu sekolah untuk calon pastur." 

Saya tidak banyak membantah. Karena mungkin, ada benarnya. Saya kubur saja cita-cita menjadi mahasiswa filsafat untuk masuk menjadi mahasiswa Hubungan Internasional. Tapi cinta saya pada filsafat selalu terpendam, sampai akhirnya bertemu dengan Pak Bambang di kelas Extension Course pada sekitar tahun 2006 atau 2007. 

Di pertemuan pertama dengan materi Antropologi Filsafat itu, Pak Bambang sudah mampu mengguncangkan pikiran dan iman saya. Kuliah lebih dari sepuluh tahun lalu itu masih segar dalam ingatan saya: Tentang konsep manusia dalam pandangan filsafat (secara spesifik, soal konsepsi tubuh dan jiwa). Ada kata Plato yang tubuh adalah penjara jiwa, ada kata Foucault yang jiwa adalah penjara tubuh, ada Lacan yang mengatakan tentang keinginan manusia yang selalu bercermin satu sama lain, ada kata Nietzsche yang mengatakan masing-masing anggota tubuh manusia punya kecerdasannya sendiri. Sejak malam itu, hidup saya tidak lagi sama. Filsafat adalah "one way ticket". 

Enam belas tahun sejak saya menerima kenyataan bahwa saya tidak akan menjadi mahasiswa filsafat, ternyata saya masih bisa mengejar cira-cita tersebut. Bersama para calon pastur angkatan 2019, saya ikut kelas secara sit-in, mendengarkan Pak Bambang bicara. 

Selama enam belas tahun itu juga saya membaca filsafat tanpa melalui jalur formal dan sering coba-coba mengajar juga, walau entah benar entah tidak. Namun mendengarkan Pak Bambang bicara, meski sudah keempatpuluhkalinya, tetap terasa baru dan membuat saya malu. Pak Bambang mengajar dengan suatu kecintaan yang aneh, seolah sudah menjadi tugas dia, untuk membuat para calon pastur ini deg-degan dengan iman yang terus dihantam-hantam. 

Tapi dari situlah saya belajar, jadi "filsuf profesional". Jadi filsuf yang tugas utamanya hanya satu: mengguncang apa yang telah mapan, tanpa harus secara terbuka menyebutkan posisinya ada di mana. Jika ia berhadapan dengan orang yang terlalu posmodernis, jadilah sedikit Kantian untuk mengimbangi. Jika ia berhadapan dengan orang agnostik, jadilah sedikit religius untuk mengimbangi. Itulah "profesionalisme filsafat": hal yang menjadi prinsip adalah denyut dan dinamika pemikiran itu sendiri, tanpa harus fanatik pada satu -isme. 

Lalu apa yang saya dapat dari kuliah barusan? Ya, pengantar filsafat. Mata kuliah yang bikin betah, bikin saya tidak mau beranjak: inginnya belajar pengantar saja, selama-lamanya. Karena belajar filsafat, sampai suatu titik, akan kembali tentang pengantar filsafat. Coba saja sendiri!

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...