Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Akhir Sejarah


Francis Fukuyama menulis buku berjudul The End of History and The Last Man (1952) yang berisi ramalan bahwa bahwa perkembangan sosio-kultural manusia sudah selesai ketika seluruh negara sudah menganut sistem politik demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas. Fukuyama menyebutnya dengan istilah menarik: Akhir sejarah. 

Untuk membedah ramalan Fukuyama tersebut, pertama-tama yang kita lakukan adalah memetakan terlebih dahulu bagaimana sejarah berjalan. Ada yang melihat sejarah sebagai lingkaran sehingga segala sesuatu terus berulang (Pemikiran Buddhisme menganut hal tersebut dan juga Nietzsche). Ada juga yang melihat sejarah sebagai suatu gerak lurus yang berakhir pada sesuatu (Seperti halnya agama Abrahamistik dan juga konsep sejarah ala Hegelian). Ramalan Fukuyama dapat dilihat sebagai suatu gerak lurus (karena mengarah pada sesuatu yang final), tapi juga sebagai gabungan keduanya. Artinya, ada suatu gerak lurus sejarah yang mengarah pada pembentukan demokrasi liberal dan pasar bebas sebagai suatu akhir, tapi ketika berada di ujung, kondisi itu berputar seperti lingkaran. 

Posmodernisme adalah pemikiran yang amat menggadang-gadangkan akhir dari segala sesuatu mulai dari akhir sejarah, akhir seni, hingga akhir filsafat. Meski awalnya saya merasa pernyataan tersebut terlalu berlebihan, namun belakangan, setelah direnungkan, mungkin saja benar. Memang terlalu prematur jika saya mengatakan bahwa jaman ini -yang sedang saya hidupi ini- mempunyai keistimewaan dibanding jaman-jaman sebelumnya. Namun bolehlah saya mengatakan bahwa mungkin ini satu-satunya jaman ketika segalanya serba terbuka. Belahan dunia satu saling tahu tentang apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Pengetahuan tersebut tidak sampai dalam hitungan bulan, hari, atau jam, melainkan detik, sekon, bahkan milisekon. Keterbukaan ini membuat pengaruh demokrasi liberal menjadi tidak terhindarkan. Sebagai contoh, negara-negara penganut komunisme sepertinya sangat membatasi keterbukaan ini karena tahu bahwa sekali negara mendapat banyak pengaruh dari luar atau bebas dalam berekspresi, maka pemerataan baik secara ideologi maupun ekonomi, menjadi sulit tercapai. 

Fakta tentang "bahaya" keterbukaan ini bagi ideologi yang berseberangan dengan demokrasi liberal dan kapitalisme terjadi di Uni Soviet tahun 1980-an. Sebagai negara berideologi komunisme sejak tahun 1922, Uni Soviet dikenal dengan negara yang sangat kuat dalam mempropagandakan sendi-sendi komunis pada masyarakat. Hal tersebut agak berubah ketika Uni Soviet dipimpin oleh Mikhail Gorbachev pada tahun 1985. Ia menerapkan kebijakan bernama glasnost yang artinya keterbukaan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa glasnost berarti membolehkan negara-negara yang tergabung dalam Uni Soviet, untuk menyuarakan kehendaknya. Tak lama kemudian sejak glasnost diterapkan, Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. 

Apa arti dari fakta sejarah tersebut? Artinya, keterbukaan dengan sendirinya akan membentuk demokrasi liberal dan otomatis juga, pasar bebas. Jika memang hari ini dunia sudah sangat terbuka -dan rasanya tidak mungkin untuk dikembalikan menjadi tertutup-, maka ramalan Fukuyama ada benarnya. Kita ada dalam situasi dimana kita tidak bisa bergerak menuju sesuatu lagi. Ibarat musik yang sudah selesai dengan segala kemungkinannya mulai dari kerumitan Bach, kecentilan Mozart, kebergejolakan Beethoven, kecanggihan Stravinsky, keminimalan Glass, ke-diam-an-nya Cage, hingga kepopuleran The Beatles. Pertanyaannya: Kita bisa membuat apa lagi sekarang? Kebaruan apa lagi yang mungkin kita lahirkan? Sama halnya dengan dunia ekonomi dan politik yang agaknya tidak bisa lagi kita lihat apa yang lebih baru dari hari ini. Hidup ada pada titik final dan kita berada pada akhir sejarah. 

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...