Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Musik klasik adalah musik yang amat direkomendasikan sebagai dasar bagi segala jenis musik. Kita diberinya pelajaran tentang penjarian, ritem, melodi, harmoni, dinamika, penghayatan, kalimat musik, dan lain-lain secara lengkap dan komprehensif. Saya belajar musik klasik sejak sekitar lima belas tahun yang lalu dan bisa dibilang secara formal dan tersertifikasi, pengetahuan-pengetahuan yang disebutkan di atas sudah saya kuasai. Namun apakah dengan demikian saya sudah mengerti apa itu musik? Ternyata tidak sama sekali.
Misalnya, saya belajar untuk mempelajari tanda-tanda dinamika dalam rangka mencapai satu penghayatan yang maksimal. Saya mengetahui segala rambu-rambu musikal mulai dari pelan, keras, semi-pelan, semi-keras, hingga gradasi dari pelan ke keras ataupun sebaliknya. Namun ketika saya main dengan musisi bermusikalitas tinggi semisal Kang Ammy Kurniawan, pengetahuan tentang tanda dinamika yang canggih itu mendadak hilang. Saya bingung luar biasa dan seperti anak baru belajar doremifasol. Begitupun ketika diminta berimprovisasi baik lewat melodi maupun akor, berbagai pengetahuan saya tentang tangga nada dan akor yang hapal mati menguap begitu saja entah kemana. Adakah saya gagal dalam mengartikulasikan arti musik dalam "kehidupan"?
Memang iya, saya gagal. Berbelas tahun belajar musik klasik dengan segala tetek bengeknya, ternyata saya sadari itu belum musik. Saya masih digelayuti awan hitam eksklusifitas, formalisme, saintifikasi seni, dan dikotomi-dikotomi antara musik tinggi dengan musik praktis. Dalam ajaran Kang Ammy, musik itu sederhana seperti halnya kehidupan. Tapi kehidupan menjadi tidak sederhana oleh sebab awan hitam yang kadang-kadang kita ciptakan sendiri juga.
Jadi sekarang saya belajar musik lagi dari nol. Saya mencapainya bukan lagi lewat teori-teori formal yang kaku dan malah justru "non-musikal". Saya belajarnya lewat membuka telinga lebih banyak pada kehidupan. Melodi, ritem, harmoni, dinamika, kalimat, hingga penghayatan itu jangan-jangan sangat natural dan sekaligus juga manusiawi -ia bukan suatu imitasi dari invisible world seperti yang diungkap oleh Giuseppe Mazzani-. Harusnya musik dan kehidupan itu sejalan karena keduanya sungguh adalah dua hal yang sama. Semoga pencarian saya berhasil suatu hari entah kapan.
.png)
Tetap semangat :)
ReplyDelete