Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Tanggal 29 Mei 2025 kemarin, saya mengikuti ibadah Gereja Anglikan yang diadakan di sebuah apartemen di kawasan Pluit. Barangkali sebagian orang akan bertanya, “Kenapa ikut ibadah?” Jawaban saya sederhana: karena saya senang mempelajari keberagaman. Selain itu, beberapa waktu lalu saya sempat diusulkan untuk mengajar di sebuah sekolah tinggi yang didirikan oleh komunitas Anglikan di Cimahi. Jadi ada semacam dorongan, bukan hanya rasa ingin tahu, tapi juga keterkaitan praktis dengan kehidupan saya belakangan ini.
Sedikit sejarah: Gereja Anglikan lahir di Inggris pada abad ke-16, ketika Raja Henry VIII berselisih dengan Paus Roma. Dari sana, lahirlah sebuah gereja yang unik, yang di satu sisi masih mempertahankan banyak tradisi Katolik, namun di sisi lain juga menyerap semangat Reformasi Protestan. Anglikanisme kemudian berkembang luas, terutama di wilayah-wilayah bekas jajahan Inggris. Kini, komunitas Anglikan ada di berbagai negara, termasuk di Indonesia, meski jumlahnya tidak terlalu besar.
Ibadah yang saya ikuti berlangsung dengan nuansa yang kalem, tertata, dan tekstual. Tidak ada sorak-sorai atau ledakan emosi seperti yang dulu sering saya lihat dalam acara siraman rohani di televisi. Bahasa yang digunakan pun bilingual—kadang bahasa Indonesia, kadang bahasa Inggris. Liturginya berjalan rapi, ada doa yang dibacakan bersama, ada nyanyian yang sederhana, dan ada momen-momen hening yang memberi ruang untuk refleksi.
Ketika tiba saat sakramen ekaristi, semua jemaat maju satu per satu untuk menerima roti dan anggur yang telah diberkati. Saya pun ikut mengantri. Namun karena saya tidak dibaptis, saya tidak diperkenankan menerima sakramen itu. Sebagai gantinya, pendeta Aan Hermawan mendoakan saya dengan menumpangkan tangan. Maka muncullah foto yang sempat beredar itu—bukan foto saya sedang dibaptis, melainkan foto saya sedang didoakan. Sebuah momen yang mungkin bagi sebagian orang tampak ganjil, tapi bagi saya justru terasa hangat dan penuh makna.
Saya memang senang keberagaman sejak dulu. Hati saya tetap seorang Muslim, itu jelas. Tetapi saya juga teringat pada prinsip kosmopolitanisme dari Kwame Anthony Appiah: bahwa kita bisa hidup berdampingan bukan hanya dengan saling menghormati, tapi juga dengan kesediaan untuk belajar tentang pandangan, keyakinan, dan kebudayaan pihak lain. Saya merasa pengalaman kemarin adalah bagian kecil dari latihan kosmopolitan itu—sebuah usaha untuk tidak berhenti pada batas identitas, tapi berani menyentuh wilayah perjumpaan.
Comments
Post a Comment