Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
Tanggal 29 Mei 2025 kemarin, saya mengikuti ibadah Gereja Anglikan yang diadakan di sebuah apartemen di kawasan Pluit. Barangkali sebagian orang akan bertanya, “Kenapa ikut ibadah?” Jawaban saya sederhana: karena saya senang mempelajari keberagaman. Selain itu, beberapa waktu lalu saya sempat diusulkan untuk mengajar di sebuah sekolah tinggi yang didirikan oleh komunitas Anglikan di Cimahi. Jadi ada semacam dorongan, bukan hanya rasa ingin tahu, tapi juga keterkaitan praktis dengan kehidupan saya belakangan ini.
Sedikit sejarah: Gereja Anglikan lahir di Inggris pada abad ke-16, ketika Raja Henry VIII berselisih dengan Paus Roma. Dari sana, lahirlah sebuah gereja yang unik, yang di satu sisi masih mempertahankan banyak tradisi Katolik, namun di sisi lain juga menyerap semangat Reformasi Protestan. Anglikanisme kemudian berkembang luas, terutama di wilayah-wilayah bekas jajahan Inggris. Kini, komunitas Anglikan ada di berbagai negara, termasuk di Indonesia, meski jumlahnya tidak terlalu besar.
Ibadah yang saya ikuti berlangsung dengan nuansa yang kalem, tertata, dan tekstual. Tidak ada sorak-sorai atau ledakan emosi seperti yang dulu sering saya lihat dalam acara siraman rohani di televisi. Bahasa yang digunakan pun bilingual—kadang bahasa Indonesia, kadang bahasa Inggris. Liturginya berjalan rapi, ada doa yang dibacakan bersama, ada nyanyian yang sederhana, dan ada momen-momen hening yang memberi ruang untuk refleksi.
Ketika tiba saat sakramen ekaristi, semua jemaat maju satu per satu untuk menerima roti dan anggur yang telah diberkati. Saya pun ikut mengantri. Namun karena saya tidak dibaptis, saya tidak diperkenankan menerima sakramen itu. Sebagai gantinya, pendeta Aan Hermawan mendoakan saya dengan menumpangkan tangan. Maka muncullah foto yang sempat beredar itu—bukan foto saya sedang dibaptis, melainkan foto saya sedang didoakan. Sebuah momen yang mungkin bagi sebagian orang tampak ganjil, tapi bagi saya justru terasa hangat dan penuh makna.
Saya memang senang keberagaman sejak dulu. Hati saya tetap seorang Muslim, itu jelas. Tetapi saya juga teringat pada prinsip kosmopolitanisme dari Kwame Anthony Appiah: bahwa kita bisa hidup berdampingan bukan hanya dengan saling menghormati, tapi juga dengan kesediaan untuk belajar tentang pandangan, keyakinan, dan kebudayaan pihak lain. Saya merasa pengalaman kemarin adalah bagian kecil dari latihan kosmopolitan itu—sebuah usaha untuk tidak berhenti pada batas identitas, tapi berani menyentuh wilayah perjumpaan.
Comments
Post a Comment