Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Sepakbola, basket, tenis, dan olahraga lainnya pada dasarnya adalah sebuah permainan. Ada bola, ada lapangan, ada aturan sederhana yang memungkinkan manusia bergerak, tertawa, berkeringat, dan merasa gembira. Tanpa kompetisi, olahraga itu hanyalah kegiatan penuh kesenangan, bagian dari naluri bermain manusia sejak kecil. Kita bisa membayangkan sekelompok anak yang menendang kaleng kosong di jalanan kampung, atau melempar bola kertas di kelas. Semua itu tidak membutuhkan piala, tidak ada klasemen, tidak ada tekanan untuk menjadi yang terbaik. Yang ada hanya tawa, teriakan, dan perasaan “asyik” saat tubuh bergerak bersama bola.
Namun ketika permainan itu berubah menjadi pertandingan resmi, atmosfernya berubah total. Bola yang tadinya sekadar benda untuk bersenang-senang menjadi sesuatu yang diperebutkan dengan serius. Pemain menampilkan wajah penuh konsentrasi, pelatih sibuk berteriak memberi instruksi, penonton menaruh harapan besar, sponsor menghitung keuntungan, dan media menyorot setiap gerakan. Permainan itu menjadi ajang pembuktian harga diri, gengsi, bahkan mata pencaharian. Bola yang tadinya ringan menjadi begitu berat oleh beban kompetisi.
Hanya segelintir pemain yang masih bisa mempertahankan rasa “bermain” itu di tengah keseriusan. Kita bisa melihatnya pada sosok seperti Ronaldinho atau Neymar, yang kadang seakan bercanda dengan bola, mengalir mengikuti irama tubuhnya sendiri. Dribel mereka bukan hanya strategi menyerang, tetapi juga tarian kecil, perayaan atas keindahan permainan itu sendiri. Mereka meluruhkan atmosfer tegang sejenak, mengingatkan penonton bahwa sepakbola pada akhirnya hanyalah sebuah permainan—dan di dalamnya selalu ada ruang untuk senyum.
Pertanyaannya, apakah hidup kita kini terlalu mirip dengan pertandingan yang penuh tekanan itu? Kita dituntut untuk selalu menang, selalu unggul, selalu membuktikan diri. Dalam pekerjaan, pendidikan, relasi sosial, bahkan di media sosial, aura kompetisi begitu kental. Kita berlomba-lomba mendapatkan pengakuan, penghasilan, prestasi, atau validasi. Hidup menjadi medan laga, bukan lagi ruang untuk bernapas dan bermain.
Mungkin yang kita lupakan adalah cara “bermain dengan bola” dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa hidup pada dirinya sendiri bukanlah kompetisi, melainkan perjalanan. Kita bisa menekuni pekerjaan tanpa harus merasa setiap saat sedang dalam perlombaan. Kita bisa menjalani hubungan tanpa harus merasa bersaing untuk menjadi pasangan paling sempurna. Kita bisa belajar tanpa harus terus membandingkan nilai dengan orang lain.
Menjadi “Ronaldinho” dalam kehidupan berarti memberi ruang untuk tersenyum di tengah keseriusan. Mengolah bola dengan ringan, bukan karena ingin menjadi yang paling hebat, melainkan karena ada kebahagiaan di dalam proses itu sendiri. Hidup yang demikian tidak kehilangan tujuan, tetapi juga tidak kehilangan rasa. Ia tidak hanya tentang sampai di garis akhir lebih cepat daripada orang lain, tetapi tentang bagaimana setiap langkah bisa dijalani dengan kegembiraan, seolah-olah kita sedang bermain.
Comments
Post a Comment