Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Saya dan NK menjalani sebuah bentuk relasi yang kami sebut sebagai monogami inklusif. Pada dasarnya, hubungan kami berakar pada komitmen monogami—saling mengasihi, merawat hidup satu sama lain, dan menempatkan pasangan sebagai rumah utama dalam perjalanan kehidupan. Namun, kami memberi ruang tertentu di mana masing-masing diperbolehkan untuk berkencan dengan orang lain. Ruang ini bukan berarti membuka ikatan begitu saja, melainkan dirancang dengan kesadaran, aturan, dan saling pengertian.
Dalam praktiknya, ada sejumlah syarat yang menjadi pegangan kami. Prinsip pertama adalah keterbukaan: setiap orang yang terlibat dalam relasi ini harus mengetahui keberadaan pihak lain. Tidak ada ruang untuk sembunyi-sembunyi, karena justru kejujuran adalah fondasi yang membuat relasi ini sehat. Kedua, kami menjaga batas-batas. Artinya, meski diperbolehkan berkencan, ada garis yang tidak boleh dilanggar, baik secara emosional maupun fisik, sesuai dengan kesepakatan yang kami bangun bersama. Ketiga, kami saling mengingatkan dan memberi alarm waspada ketika ada situasi yang berpotensi mengancam inti hubungan ini—misalnya ketika ada kemungkinan jatuh hati lebih dalam kepada orang lain. Hingga saat ini, alarm itu belum pernah berbunyi, dan kami justru menikmati dinamika yang ditawarkan oleh tipe hubungan semacam ini.
Konsep ini berbeda dari poliamori. Dalam poliamori, seseorang bisa membangun lebih dari satu hubungan romantis sekaligus dengan kadar komitmen dan keterikatan yang relatif setara. Poliamori memandang cinta tidak harus eksklusif pada satu orang, dan memungkinkan terbentuknya jaringan relasi yang kompleks. Sementara dalam monogami inklusif, meski ada ruang untuk interaksi romantis dengan orang lain, rumah utama tetap satu: pasangan inti. Relasi dengan orang lain bersifat sekunder, tidak dimaksudkan untuk menggantikan ataupun menyetarakan ikatan inti yang telah ada.
Bagi kami, monogami inklusif adalah cara untuk merayakan kebebasan sekaligus meneguhkan keterikatan. Ia bukan sekadar kompromi antara monogami dan poliamori, melainkan sebuah pilihan sadar yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan kami. Kami percaya bahwa apapun tipe hubungannya—monogami konvensional, poliamori, atau monogami inklusif seperti yang kami jalani—yang terpenting adalah keberlanjutan (lestari) dari hubungan itu sendiri. Relasi yang lestari adalah relasi yang terus memberi ruang bagi tumbuhnya cinta, kejujuran, dan rasa aman, apa pun bentuk strukturnya.
Comments
Post a Comment