Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Adakah orang yang benar-benar seratus persen sejalan antara ideologi yang diyakininya dan laku hidupnya di dunia nyata? Pertanyaan ini sekilas sederhana, tapi jika ditelaah lebih dalam, ternyata jawabannya nyaris selalu "tidak". Ideologi, filsafat hidup, atau sistem pemikiran yang kita kagumi sering tampil sebagai horizon yang jauh: indah, konsisten, dan kokoh di ranah gagasan. Tetapi hidup sehari-hari selalu datang dengan kerumitan, kompromi, dan keterikatan yang membuat garis lurus antara ide dan laku menjadi mustahil.
Bahkan dalam tradisi filsafat yang keras sekalipun, kita bisa menemukan retakan itu. Max Stirner, misalnya, dengan egoisme radikalnya dalam The Ego and Its Own, sering digambarkan sebagai sosok anarko-individualis yang menolak segala bentuk otoritas. Tetapi pada kenyataannya, ia tetap pernah tunduk pada sistem kampus, mengikuti mekanisme sosial yang di atas kertas mestinya ia tolak. Pierre-Joseph Proudhon, tokoh anarkisme yang terkenal dengan semboyan “Property is theft”, justru pernah menjadi anggota parlemen Prancis, sebuah institusi yang merepresentasikan otoritas negara—lawan abadi kaum anarkis. Mikhail Bakunin, yang sering dipuja karena retorika revolusionernya yang garang, pada masa tuanya pun tidak lagi segarang pada masa mudanya; pengalaman, usia, dan realitas sosial memaksa lidahnya untuk lebih lentur.
Hal serupa bisa kita temukan di luar ranah anarkisme. Seorang yang mengaku stoik, misalnya, mungkin bisa mengutip Epiktetos atau Marcus Aurelius saat menasihati orang lain, tetapi belum tentu tetap tegar ketika dirinya sendiri menghadapi musibah yang menghantam batin. Seorang Kantian yang menjunjung tinggi categorical imperative bisa saja tiba-tiba berubah oportunis ketika godaan praktis atau tekanan sosial mendesak dirinya untuk memilih jalan yang lebih mudah.
Mengapa demikian? Karena manusia bukan sekadar kumpulan gagasan. Ia bukan hanya "makhluk berpikir" dalam pengertian abstrak, tetapi juga tubuh berdaging, yang lapar, lelah, terikat pada aturan-aturan masyarakat, dan butuh hidup berdampingan dengan orang lain. Seanarko-anarkonya seseorang, ia tetap perlu membuat KTP dan mendaftarkan diri di Disdukcapil agar bisa mengakses layanan dasar dan mempermudah geraknya dalam masyarakat. Seanarko-anarkonya seseorang, ketika tiba-tiba posisinya terjepit oleh fitnah dan dihakimi massa tanpa ruang klarifikasi, mungkin ia justru akan menempuh jalur hukum—instrumen negara—demi mendapatkan keadilan.
Dengan kata lain, tak ada orang yang benar-benar seratus persen utuh antara ideologi yang diucapkannya dan tindakan nyata yang dijalankannya. Ini bukan berarti semua ideologi palsu, melainkan bahwa ideologi adalah peta, sedangkan hidup adalah tanah lapang yang penuh belokan, lubang, dan tikungan tak terduga.
Dalam konteks pemikiran Barat, jarak ini bahkan tampak wajar. Banyak sistem filsafat di Barat memang disusun pertama-tama sebagai bangunan gagasan—utopia pikiran—tanpa selalu menuntut implementasi total dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang bisa menjadi eksistensialis dalam membaca Sartre tanpa mesti menjadi “Sartre kecil” dalam keseharian. Seorang yang tertarik pada Nietzsche bisa mengagumi gagasan Übermensch tanpa pernah sungguh-sungguh “melampaui” dirinya.
Barangkali hanya dalam tradisi pemikiran Timur—Konfusianisme, Islam, Buddhisme, atau Kekristenan—ide dan laku lebih cenderung dipaketkan. Sebab di sana, ajaran filsafat dan praktik kehidupan sehari-hari sulit dipisahkan. Seorang Muslim, misalnya, tidak hanya mempelajari konsep tauhid, tetapi juga menegakkannya lewat ritual salat, puasa, dan zakat. Seorang Buddhis tidak hanya membaca tentang penderitaan (dukkha), tetapi juga melatih jalan tengah dalam disiplin laku.
Maka, seratus persen mungkin hanyalah mitos. Tetapi justru di sanalah letak kemanusiaan: manusia bukan mesin konsistensi, melainkan makhluk yang terus bernegosiasi antara ide yang diyakininya dan kenyataan yang dihadapinya. Yang penting mungkin bukan apakah kita seratus persen sejalan, melainkan bagaimana kita tetap mencoba menyambungkan gagasan dengan tindakan sebisa-bisanya, sambil menerima bahwa hidup memang penuh dengan celah, kompromi, dan keterbatasan.
Comments
Post a Comment