Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Gin

GIN

Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran.

Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan.

Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat ia tampak seperti orang yang berpikir sendirian. Saya ajaklah Gin ke Tobucil, tempat nongkrong saya dan teman-teman waktu itu, ngobrolin macam-macam dan salah satunya adalah filsafat. Gin nampak senang berada di sana dan ia bergaul cepat sekali.

Terus terang saya kurang ingat apa-apa saja yang terjadi di antara itu. Bahkan saya perlu diingatkan lewat tulisan seorang kawan, Ping Setiadi, yang mengatakan bahwa Gin pernah bantu-bantu di rumah, merapikan perpustakaan milik bapak di Jalan Rebana. Saya juga lupa-lupa ingat bahwa Gin ternyata pernah bekerja di Tobucil sebagai kasir. Namun hal yang pasti saya ingat adalah keberadaan Gin di tempat nongkrong kami di kedai Amor Fati dan rumah kontrakan Cikutra Baru. Gin seperti biasa, ada di sana dengan celetukan-celetukan jenakanya.

Suatu hari, saya membaca status Gin tentang keinginannya untuk membuat kelas sendiri dengan sistem berbayar. Tentu ini adalah inisiatif yang bagus dan saya tahu Gin punya kapasitas untuk mengajar. Saya segera kontak Gin dan membuka kemungkinan untuk diskusi bareng soal ini karena saya juga ada rencana membuat kelas dengan nama Kelas Insom atau kelas filsafat yang diadakan tengah malam. Kami sempat punya kata sepakat dan akhirnya membuat Whatsapp Group.

Sayang sekali, di sana terjadi perselisihan yang garis besarnya adalah soal siapa yang harus mengurus administrasi bagi pengadaan laptop untuk kepentingan kelas. Gin menolak, karena khawatir ia jadi terkena dampak jika terjadi keterlambatan pembayaran. Sementara saya bersikeras bahwa Gin mesti mengurus administrasi karena saya dan teman saya sudah sepakat untuk membayar laptopnya dengan cara mencicil. Kejadian itu terjadi sekitar bulan Mei 2020 atau hampir setahun dari sejak saya menulis ini. Sejak kejadian itu, kami tidak berbicara sama sekali, bahkan via Whatsapp sekalipun.

Beberapa hari lalu, saya mendengar kabar bahwa Gin meninggal dunia. Bagaimana ia meninggal, masih ditelaah, tapi dugaan sementara adalah bunuh diri. Apa yang memicunya, saya tidak tahu, ada banyak versi mulai dari masalah orangtua, masalah kejiwaan Gin sendiri, hingga soal judul skripsinya yang tidak kunjung disetujui. Saya sedih sekali karena tidak yakin di belakang sikap cuek dan pesimistiknya, ia ternyata punya niat untuk mengakhiri hidupnya. Iya, kami berbagi soal eksistensialisme, nihilisme, absurdisme, hingga demotivasi, tetapi tidak percaya pemikiran-pemikiran semacam itu membuatnya tenggelam pada keinginan untuk bunuh diri. Saya kira, beraneka pemikiran yang disebutkan di atas, mestinya membuat kita bergairah menghadapi hidup, karena makna hidup hanya berasal dari kemampuan kita dalam memaknainya!

Namun sudahlah, Gin, saya hargai keinginan Gin karena kadang, jika kita mau kritis, memangnya apa poin orang mencegah bunuh diri jika si pencegah itu sendiri tidak bisa membantu persoalan Gin. Orang tidak bisa hanya dengan mengatakan "jangan mati", tetapi dia sendiri tidak punya solusi atas persoalan Gin. Bahkan bisa jadi orang yang mencegah bunuh diri itu egois sekali, ia hanya memikirkan dirinya sendiri, takut ia jadi sedih, takut ia jadi menyesal.

Duh, sudahlah, pikiran kritis semacam itu kadang tidak diperlukan lagi, Gin. Di alam sana, segalanya mungkin lebih pasti dan tidak usah diperdebatkan lagi. Di sanalah ketenangan sesungguhnya, Gin.

Gin
Gambar diambil dari Facebook Gin Gumilang

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...