Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

(Bioskop Alternatif) Bioskop Alternatif Berjasa Lahirkan Pemikir Film (5 dari 5)

*) Diambil dari artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Teropong, 13 Februari 2017.

Sutradara yang kesulitan mendapat tempat di layar lebar, mempunyai kesempatan agar filmnya diputar di bioskop alternatif. Di Bandung, kesempatan itu salah satunya datang dari satu komunitas bernama Warung Film (sub-divisi dari komunitas Ruang Film Bandung) yang mengelola sebuah tempat di Jalan Banda, bernama Indi Sinema –terletak di gedung Bale Motekar lantai tiga-. Bekerjasama dengan UNPAD dan DILo (Digital Innovation Lounge), mereka kerap menjadi penyelenggara bagi pemutaran film dari para sutradara muda yang filmnya belum berhasil menembus pasar bioskop umum. 

Indi Sinema ingin agar tempat tersebut menjadi satu persinggahan bagi para sutradara yang menginginkan alternatif tempat pemutaran film yang tidak membutuhkan persyaratan serta perjanjian yang rumit. Menurut Rhisa, humas Indi Sinema, “Keberadaan kami adalah dalam rangka memberi ruang pemutaran film bagi para sutradara, sehingga setidaknya mereka menjadi lebih percaya diri sebelum memasuki respon pasar yang lebih luas.” Indi Sinema sendiri dibuat sedemikian rupa agar suasananya seperti bioskop pada umumnya: ada pendingin, layar lebar dan ruangan nyaris tanpa cahaya, serta tempat duduk nyaman. Hanya saja, kapasitasnya relatif kecil yaitu hanya terbatas sekitar lima puluh orang. Mereka mempunyai jadwal pemutaran rutin hampir sehari tiga kali dan hanya libur pada hari Senin. “Pemutaran akan terus dilakukan, meski tidak ada penonton,” kata Rhisa. Untuk beberapa pemutaran tertentu, Indi Sinema menarik semacam donasi bagi mereka yang menonton –donasi tersebut hanya kisaran sepuluh hingga lima belas ribu-. Dengan cara tersebut, selain menjadi jalan untuk menghidupi bioskop alternatif itu sendiri, mereka juga dapat memberikan separuhnya pada pembuat film. 

Beberapa film yang pernah diputar di Indi Sinema antara lain Urbanis Apartementus (2013), Karbon dalam Ransel (2014), Pulau Bintang (2014), Jelaga Asa Belantara (2016), dan Bendera (2016). Meski umumnya Indi Sinema memutar film-film yang belum mendapat kesempatan di gedung bioskop umum, tapi ada pula beberapa film yang statusnya “turun layar” atau pernah diputar di bioskop umum dan kemudian sudah selesai masa penayangannya. Mereka juga menerima pemutaran film untuk kategori lain, seperti film dokumenter panjang, film fiksi panjang, film edukatif, dan kompilasi film pendek. 

Namun secara umum, Indi Sinema menunjukkan dukungan serius terutama bagi perkembangan film-film dalam negeri yang menurut Rhisa, “Sangat berlimpah dan potensial, namun seringkali terhambat regulasi serta seleksi pasar yang terlampau ketat.” Dengan menggeliatnya bioskop alternatif seperti Indi Sinema ini, maka boleh kita berharap: Sutradara dalam negeri semakin produktif berkarya dan semakin tidak gentar dengan momok bernama pasar. Ketika film tersebut diapresiasi, maka konsekuensi positif akan datang dengan sendirinya, dan memberikan satu kepuasan tak ternilai bagi sang pembuat film. 

Ruang Film Bandung 
Indi Sinema dengan Warung Film sebagai pengelolanya, mungkin hanya sebagian kecil dari program komunitas Ruang Film Bandung yang memang sangat memberi perhatian bagi perkembangan film, khususnya film lokal. Selain pengelolaan bioskop alternatif, Ruang Film Bandung juga cukup rutin berkolaborasi dengan pihak-pihak lain untuk menyelenggarakan kegiatan. Misalnya, kerjasama dengan Telkom University untuk membuat kelas film pendek dengan durasi delapan pertemuan. Di akhir pertemuan, harus ada hasil berupa film yang kemudian diapresiasi secara bersama-sama. Selain itu, ada juga pelatihan produser film yang merupakan kerjasama dengan Dinas KUKM dan Perindag Kota Bandung serta even Bandung Youth Short Film Competitions (ajang penghargaan film untuk pemuda atau komunitas film di Bandung) yang bekerjasama dengan Dispora Kota Bandung. 

Mereka juga menggelar sebuah program bernama Klinik Film. Pada Klinik Film tersebut, diputar sekitar tiga film pendek untuk kemudian dikomentari dan dianalisis oleh tiga orang akademisi, pengamat, atau penikmat film yang sudah dipilih oleh panitia. Misalnya, bulan Oktober 2016 lalu, diputar tiga film pendek berjudul Senyum Sempit, Salam dari Anak-Anak Tergenang, dan Fashion Syndrome, dengan menghadirkan tiga analis yaitu Esa Hari Akbar, Vanny Rantini, dan Harry Reinaldi. 

Ina Khuzaimah, salah seorang pendiri Ruang Film Bandung, menyebutkan tentang visi misi komunitas ini, “Kami ingin membangun ekosistem sinema lokal, khususnya Bandung, agar terus menggeliat dan dapat bersaing dengan perfilman nasional atau bahkan mancanegara.” Ikhtiar semacam itu memang tidak pernah mudah dan kerap membutuhkan napas panjang. Kita, selaku masyarakat, turut andil dalam mendukung –termasuk mengawasi- sepak terjang Ruang Film Bandung agar terus konsisten memajukan ekosistem sinema lokal. Salah satu bentuk dukungannya bisa dimulai dengan mendatangi bioskop alternatifnya dan menjadi penonton yang tidak hanya apresiatif, tapi juga kritis.


Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...