Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Ketika kawan Erie Setiawan mengirimkan buku Imagi-Nation: Membuat Musik Biasa Jadi Luar Biasa dari Yogya, saya langsung menghabiskan buku setebal kurang lebih seratus halaman itu dalam sehari. Namun bukan ketipisan buku itu yang membuat saya sanggup membaca cepat. Entah oleh sebab sang penulis, Vince McDermott, atau kelihaian sang penerjemah, yang pasti kata-kata dalam buku ini amat renyah, lincah, dan sepertinya sudah dibuat sedemikian rupa agar tidak membuat pembaca ketakutan dengan topiknya.
Apa yang dibahas oleh McDermott sesungguhnya tidak semudah gaya bahasanya. Ia menyuguhkan banyak hal mendasar tentang musik yang justru merupakan topik yang tidak populer -bahkan di kalangan akademisi musik sekalipun?-. Hal yang mendasar ini bukan berarti menyoal teori atau praktik dasar dalam bermusik. McDermott memulai bukunya dengan membahas apa itu estetika, apa perbedaan estetika barat dan timur, hingga memperdebatkan apakah musik kemudian harus ditransfer kembali pada kata-kata untuk menjawab pertanyaan orang awam, "Musik yang dimainkan barusan, maknanya apa ya?" Ini jelas merupakan bahasan yang tidak menyenangkan untuk praktisi bahkan teoritisi musik khususnya di Indonesia -buktinya, buku yang membahas hal semacam ini sangat jarang beredar-. Mungkin mereka bisa melemparkan tanggung jawab atas persoalan estetika pada bidang kajian filsafat saja.
McDermott kemudian dengan perlahan memberikan panduan bagi para komposer untuk pertama-tama mempertanyakan ulang maksud dari pelbagai ciptaannya, hingga akhirnya masuk pada dimensi musik yang lebih kompleks seperti dinamika, frase, energi, bentuk, ritme, repetisi, tekstur, lapisan, harmoni, tempo, transisi, warna, hingga instrumen. Dalam pemaparan demi pemaparan, McDermott sama sekali tidak bersikap menggurui atau bahkan memberikan tips-tips sederhana (seperti yang sedikit tersirat lewat judulnya). McDermott rupanya ingin lebih tepatnya memberikan panduan. Ia tidak mau "penyair bunyi" (istilah yang McDermott ambil dari sebutan Beethoven bagi para komposer) manapun mengabaikan sejumlah peraturan dalam mencipta. Hal ini tersirat dalam pemaparannya mengenai musik jazz dan hubungannya dengan improvisasi:
Bahkan, dalam gaya improvisasional seperti "free jazz" atau "musik kebetulan" (chance music) sekalipun, tetap ada pembatas. Pemusik-komponis memiliki ide-ide tertentu yang ingin mereka sajikan, dan tujuan mereka adalah ide-ide itu. Dengan demikian, mereka sengaja membatasi fokus mereka.
Meski "keras" dalam memberikan batas-batas mencipta, McDermott tetap mengatakan bahwa yang menjadi penentu pada akhirnya adalah kreativitas, keberanian untuk berpikir maju, dan petualangan menuju "yang sublim". Seni bukan rutinitas, seni itu pencarian. Ia mengajak mereka yang sudah berpikiran ke depan agar jangan melupakan fondasi bangunan musik seni yang baik. Sebaliknya, mereka yang sudah menguasai pelbagai fundamen dasar dalam bermusik, jangan hanya membuat "musik biasa yang mengenyangkan perut" saja. Jangan takut menciptakan musik yang sanggup dijadikan santapan rohani juga.
Comments
Post a Comment