Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Aku pernah berkata pada diri
Hidup ini sederhana saja
Jalani aturan, hindari larangan
Ikuti malaikat, jauhi setan
Oh, aku mengerti sekarang
Itulah sebab mengapa aku tak sanggup memainkan blues
Aku bekerja sepanjang hari
Menghitung uang apakah sebanding dengan peluh yang terbuang
Kutatap masa depan dengan sinar mata cemerlang
Kehidupan jelas terbentang diterangi oleh senter tabungan
Oh, aku mengerti sekarang
Itulah sebab mengapa aku tak sanggup memainkan blues
Aku pernah berpikir tentang kematian
Tentang duka nestapa dan penderitaan
Tapi kubiarkan mereka terbenam
Dalam derap langkah keseharian
Oh, aku mengerti sekarang
Itulah sebab mengapa aku tak sanggup memainkan blues
Kemari kesana
Hingga berkesimpulan
Tak mungkin Tuhan ada
Oh, aku mengerti sekarang
Itulah sebab mengapa aku tak sanggup memainkan blues
Comments
Post a Comment