Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Bapak pernah berkata bahwa hidup ini adalah sekumpulan oh demi oh. Apa artinya? Katanya, nanti juga kamu mengerti. Nanti juga kamu akan mengatakan, "Oh, maksud bapak oh itu, itu toh." Karena begitulah beliau akhirnya menyadari bahwa segala ucapan kebijaksanaan akan tiada artinya jika tanpa disertai pengalaman. Ketika pengalaman tersebut pada akhirnya sejalan dengan kata-kata kebijaksanaan yang dulu pernah termentahkan oleh hatimu, ketika itu pula kamu akan mengatakan oh. "Bapak dulu pernah mengatakan jangan merokok dan minum kopi, nanti jadi bodoh," demikian bapak berujar tentang nasihat bapaknya dulu. "Kita bisa sama-sama menertawakan pendapatnya yang tidak saintifik, tapi hal tersebut di kemudian hari terbukti, setidaknya bagi saya secara personal," demikian tambah bapak. Oh.
Oh, sekarang saya juga tahu kenapa bapak dulu menyuruh untuk membaca satu artikel koran setiap hari dengan imbalan seratus rupiah. Oh, sekarang saya tahu kenapa bapak selalu memutar musik keras-keras setiap pagi dari sejak saya bahkan tidak tahu apa itu musik. Bukan musik anak-anak seperti Enno Lerian atau Bondan Prakoso, tapi sekalian The Beatles atau Michael Franks. Oh, sekarang saya tahu kenapa saya sering diajak makan berdua saja untuk kemudian bapak bercerita tentang segala hal yang saya tidak mengerti. Katanya dalam suatu malam di restoran, "Waktu itu selalu berlalu. Ketika kita mengatakan 'sekarang', di saat itu pula kata 'sekarang' itu juga berlalu." Saya terbengong-bengong karena waktu itu masih SD.
Oh, sekarang saya mengerti, bahwa ternyata kata-kata kebijaksanaan itu selalu terdengar kosong di telinga seperti kata tokoh Gotama di novel Siddharta karya Herman Hesse, "Hanya pengetahuan yang bisa dibagikan, kebijaksanaan jika dibagikan akan lebih terdengar seperti kebodohan." Oh, sekarang saya mengerti mengapa Musashi mengembara untuk mencari hakikat ilmu pedang. Pengembaraannya bukan didasari oleh kemasukakalan, melainkan oleh sebuah keyakinan bahwa suatu saat pengalamannya sendiri yang akan membentuk pemahamannya. Itu sebabnya ia punya semboyan, "Jangan pernah menyesali segala sesuatunya." Seolah-olah ia mau berkata bahwa meskipun pengembaraannya akan berujung pada kesimpulan bahwa tak sanggup sesungguhnya Musashi jadi samurai, itu tidak apa-apa. Oh, sekarang saya mengerti mengapa Nietzsche mengatakan bahwa manusia dikutuk oleh bahasa. Di satu sisi kita berupaya menerangkan dengan kata-kata tentang pengalaman kita, di sisi lain kata-kata itu sendiri sebenarnya tak pernah sanggup membuat orang "ikut mengalami".
Oh, saya mengerti sekarang bahwa hal-hal di dunia ini tidak semuanya harus langsung dapat dimengerti. Biarkan oh terucap di ujung pengalamanmu.
Oh, sekarang saya juga tahu kenapa bapak dulu menyuruh untuk membaca satu artikel koran setiap hari dengan imbalan seratus rupiah. Oh, sekarang saya tahu kenapa bapak selalu memutar musik keras-keras setiap pagi dari sejak saya bahkan tidak tahu apa itu musik. Bukan musik anak-anak seperti Enno Lerian atau Bondan Prakoso, tapi sekalian The Beatles atau Michael Franks. Oh, sekarang saya tahu kenapa saya sering diajak makan berdua saja untuk kemudian bapak bercerita tentang segala hal yang saya tidak mengerti. Katanya dalam suatu malam di restoran, "Waktu itu selalu berlalu. Ketika kita mengatakan 'sekarang', di saat itu pula kata 'sekarang' itu juga berlalu." Saya terbengong-bengong karena waktu itu masih SD.
Oh, sekarang saya mengerti, bahwa ternyata kata-kata kebijaksanaan itu selalu terdengar kosong di telinga seperti kata tokoh Gotama di novel Siddharta karya Herman Hesse, "Hanya pengetahuan yang bisa dibagikan, kebijaksanaan jika dibagikan akan lebih terdengar seperti kebodohan." Oh, sekarang saya mengerti mengapa Musashi mengembara untuk mencari hakikat ilmu pedang. Pengembaraannya bukan didasari oleh kemasukakalan, melainkan oleh sebuah keyakinan bahwa suatu saat pengalamannya sendiri yang akan membentuk pemahamannya. Itu sebabnya ia punya semboyan, "Jangan pernah menyesali segala sesuatunya." Seolah-olah ia mau berkata bahwa meskipun pengembaraannya akan berujung pada kesimpulan bahwa tak sanggup sesungguhnya Musashi jadi samurai, itu tidak apa-apa. Oh, sekarang saya mengerti mengapa Nietzsche mengatakan bahwa manusia dikutuk oleh bahasa. Di satu sisi kita berupaya menerangkan dengan kata-kata tentang pengalaman kita, di sisi lain kata-kata itu sendiri sebenarnya tak pernah sanggup membuat orang "ikut mengalami".
Oh, saya mengerti sekarang bahwa hal-hal di dunia ini tidak semuanya harus langsung dapat dimengerti. Biarkan oh terucap di ujung pengalamanmu.
Comments
Post a Comment