Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kritik terhadap Etika Teleologis


"Gue sih apa-apa bebas aja, yang penting idup gue gak ngerugiin orang lain."

Kita sering mendengarkan prinsip semacam ini dari teman-teman kita, atau bahkan etika ini jadi pedoman kita sendiri. Etika teleologis adalah etika bertujuan. Sering disebut juga sebagai etika konsekuensilisme. Bunyi kredonya kira-kira: "Segala sesuatu adalah baik selama berakibat baik." Lawan dari etika konsekuensilisme adalah etika deontologis, yang berbunyi: "Segala sesuatu baik karena dirinya sendiri baik, terlepas dari apapun konsekuensinya." Dalam etika teleologis, hal-hal seperti berbohong, membunuh, mencuri, adalah baik selama ditujukan untuk konsekuensi yang baik. Agama cenderung deontologis karena keputusan untuk dilarang berbohong, membunuh, ataupun mencuri adalah seolah final apapun alasan melakukannya. 

Namun etika teleologis yang seolah menandakan prinsip dari manusia rasional, saya sadari punya kelemahan ketika hari Rabu lalu mendapati jalanan macet. Oleh sebab apa? Ada kampus bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sedang melantik para praja (semacam calon mahasiswa). Kemacetan tersebut berlangsung luar biasa dan membuat perjalanan pulang yang normalnya satu jam menjadi empat jam. Rata-rata orang yang menggunakan kendaraan memaki kegiatan tersebut. Bahkan di salah satu radio muncul juga cacian, "Belum juga jadi pejabat, sudah merugikan rakyat."

Bagaimana hal semacam itu dapat menjadi kritik terhadap etika teleologis? Pertama, kita bisa asumsikan bahwa kegiatan pelantikan itu tentu saja merupakan suatu bentuk aktivitas yang didasari oleh prinsip konsekuensi. Maksudnya, kegiatan itu sendiri punya dasar deontologi (baik pada dirinya sendiri), tapi juga punya nilai konsekuensi yang baik, misalnya: Membuat para praja merasa bangga dan kemudian bisa lebih bertanggungjawab dalam meniti karir menjadi abdi negara. Namun disinilah letak kritiknya: Konsekuensi tidak bisa dikendalikan. Apa yang kita bayangkan perbuatan A menghasilkan konsekuensi B, kita tidak memperhitungkan bahwa secara domino akan ada konsekuensi C, D, E dan seterusnya.

Pemain sepakbola berupaya bermain sebaik-baiknya. Ia sudah memperhitungkan konsekuensi bahwa permainan yang baik akan mendatangkan misalnya: reputasi pribadi yang baik, reputasi klub yang baik, kemenangan tim, gaji pribadi naik, peningkatan hak siar televisi, hingga mungkin yang sekecil-kecilnya seperti keluarga yang bangga akan prestasinya. Namun ada konsekuensi yang barangkali tidak terjangkau oleh si pemain, seperti: Berapa banyak orang yang sengsara karena nasibnya dipertaruhkan oleh perjudian di pertandingan yang melibatkan si pemain? Berapa orang yang kehilangan harapan hidup karena timnya kalah oleh sebab gawangnya dijebol oleh si pemain?

Hal-hal seperti ini sudah diistilahkan dengan The Butterfly Effect, "kepak sayap kupu-kupu di suatu tempat, bisa menyebabkan kejadian di tempat lainnya." Adapun Jean-Paul Sartre pernah bersabda, "Apa yang kamu putuskan akan menjadi keputusan yang berpengaruh bagi seluruh umat manusia." Artinya, prinsip seperti, "Terserah gue, yang penting gak ngerugiin orang lain," sebenarnya merupakan pernyataan yang prematur karena konsekuensi rugi-tidak rugi sesungguhnya sangat luas dan di luar kendali kita. Suka tidak suka, saya merasa bahwa Islam punya penawarnya. Katanya, "Dalam perbuatan apapun, yang penting adalah niatnya."

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...