Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Tempat Berteduh


Pernah ada suatu keinginan, agar kegiatan yang saya lakukan punya efek baik bagi sebanyak mungkin orang. Makin banyak yang hadir dan mengapresiasi, artinya makin berhasil cita-cita. Namun pemikiran yang demikian semakin luntur perlahan oleh sebab beberapa hal yang sebetulnya sepele. Misalnya di TVOne kemarin -diskusi Jakarta Lawyers Club-, saya melihat kelompok FPI begitu dominan, banyak, dan berkeyakinan tinggi. Bahkan secara kuantitas saya yakin mereka lebih banyak lagi di luar sana. Secara utilitarian, tentu saja ini menunjukkan Habib Rizieq lebih sukses daripada saya. 

Saya, apa yang saya lakukan? Mengurus komunitas musik klasik namanya KlabKlassik, aktif juga di Klab Filsafat Tobucil dan sekarang tengah getol mengelola garasi rumah sendiri untuk dipakai kegiatan seni, budaya, dan filsafat, namanya Garasi10. Giat, bolehlah, tapi jika dibanding FPI misalnya, secara kuantitas saya harus gigit jari. Setiap menyelenggarakan satu kegiatan, paling banyak lima belas orang yang hadir. Kalau misalnya tengah mengurusi konser, biasanya yang datang bisa sampai seratus hingga dua ratus. Tapi masih tetap yang semacam ini tidak punya nilai ketimbang orasi partai politik sekalipun. 

Nietzsche datang suatu hari menghibur saya. Bahwa yang dinamakan kawanan, massa, atau manusia yang bergerombol dalam jumlah banyak, selalu mesti diwaspadai. Mereka, dalam pandangan sang filsuf, adalah kumpulan makhluk tidak berpikir, atau bisa dikatakan kehilangan daya kritisnya. Memang iya, meleburkan diri dalam kerumunan selalu menimbulkan rasa nyaman tapi juga kemandegan pikiran. Hal tersebut yang membuat kekhawatiran berkurang: Jika saya berkonsentrasi mendatangkan sebanyak mungkin orang ke kegiatan saya, maka otomatis saya tengah menciptakan kerumunan! Justru ketika kerumunan itu terbentuk, tujuan-tujuan kegiatan yang saya lakukan menjadi kontradiktif. 

Saya juga semakin sadar, bahwa dunia di luar sana tidak pernah betul-betul beres. Selalu rumit, kompleks, dan khaos. Selalu menyediakan problem baru setiap satu masalah dicarikan solusinya. Maka itu kegiatan yang saya tekuni, meski cuma dihadiri sedikit orang, menjadi punya arti. Arti setidak-tidaknya sebagai tempat berteduh. Adalah utopia belaka jika ruang berkumpul yang kecil dijadikan tempat berteduh bagi terlalu banyak orang. Lebih baik sedikit tapi selalu menghadirkan kesejukan. Daripada basah kuyup, menjadi asing di luar sana.

Kadar keberhasilan sendiri bagi saya lambat laun berubah orientasi. Dulu kuantitas, sekarang kualitas. Tidak ada yang lebih bahagia daripada mengetahui seorang kawan yang tadinya lambat bicara, sekarang menjadi lantang untuk berekspresi. Tidak ada yang lebih bahagia daripada mengetahui rekan diskusi yang tadinya membenci dunia, sekarang menjadi sadar bahwa tidak semua sisi dunia adalah busuk adanya. 

Alangkah indahnya apa yang kemudian saya renungkan: Lebih baik lima orang yang hadir dengan pikiran yang mandiri, otentik, dan percaya diri, daripada seribu orang dalam kerumunan yang bahkan tidak tahu bagaimana menggunakan akal pikirannya.
 

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...