Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Filsafat itu..

Saya lupa kapan mulai berkenalan dengan filsafat. Tapi resminya, boleh dibilang ketika saya mengikuti extension course filsafat di tahun 2006. Kegiatan rutin tiap Jumat malam di Jl. Nias itu, pelan tapi pasti, mengubah cara pandang saya. Saya ingat, awal mula materi di extension course itu, adalah soal antropologi manusia. Saya berkenalan diantaranya dengan pemikiran Nietzsche, Marleau-Ponty dan Lacan soal manusia ini sebenarnya apa, dari mana, mau ke mana? Apakah makhluk yang sudah selesai, atau sedang dalam proses? Lantas, apakah yang dinamakan hubungan sesama manusia itu? Lalu, bagaimana manusia mendefinisikan baik-buruk? Ketuhanan? Macam-macam lah pokoknya, membuat saya kebingungan dan keluar ruangan dalam perasaan yang aneh. Perasaan yang, ternyata, one way ticket: Tidak bisa pulang kembali ke kenyamanan yang dulu. Melainkan mesti mengarungi, terus menerus, bergulat dengan gelisah, hingga entah kapan.

Demikian awal mula filsafat ambil bagian dalam hidup saya. Mulailah dibeli buku-buku yang berkaitan dengannya. Saya ingat buku favorit saya sampai sekarang, Dari Socrates ke Sartre oleh T.Z. Lavine. Meski demikian, tak bisa, ternyata bagi saya, membaca satu atau dua buku saja untuk memahami satu pemikiran filsuf sekalipun. Mesti beberapa, mesti kadangkala buka internet juga, lalu mestipula sesekali mengaplikasikannya dalam pelbagai diskusi. Kadang, pemahaman terbaik ada ketika berbicara, alih-alih mendengarkan.

Efek filsafat, cukup klise: keimanan dogmatis yang ditanamkan sejak kanak-kanak, luntur perlahan; menjadi senang berdebat dan berdiskusi, seolah-olah semua orang mesti senang mempertanyakan hingga ke dasar-dasar, tidak ada yang boleh naif; menjadi galau setiap saat, karena sering mengaitkan segala peristiwa terhadap kategori-kategori filsafat beserta alirannya; menjadi kritis dalam segala hal, merusak segala tatanan, meski seringkali lupa membangun apapun diatas puing-puingnya. "Tuhan telah mati!" demikian Nietzsche bersabda. "Eksistensi mendahului esensi," Sartre berkata. "Jika Allah tidak ada, semuanya boleh," ujar Dostoyevski. "Para filsuf hanya berbicara tentang dunia, bukan mengubahnya," oh, itu kata Marx. "Hidup yang tidak dikaji, tidak layak dihidupi," ujar Socrates. Demikian seterusnya, petikan-petikan kalimat keren, mempesona, dan tampak beradab, mewarnai hidup saya.

Hingga suatu ketika, yang saya lupa tepatnya kenapa, yakni pada saat tersadari: bahwa ada titik, dimana hati lelah, mengikuti nalar yang terus menjelajah. Nalar ini, sialannya, ibarat kita makan keripik cabe: satu-satunya cara menghilangkan pedasnya, adalah dengan memakannya kembali. Nalar tak punya kepuasan. Ia mencari, mengusik, merobek, hingga menukik, kemanapun dan apapun. Saya tiba-tiba ingat kata Kierkegaard, "Nalar justru mesti digunakan hingga mentok, sehingga kita tahu keterbatasannya."

Ya, ternyata, Kierkegaard, tidak ada yang namanya batas itu sebenarnya. Hanya saja, kita selama ini terjebak bahwa filsafat adalah soal pemenuhan kepuasan nalariah. Pikiran yang terus bertanya, dan kemudian dijawab kembali oleh kekuatan pikiran jua. Ini agak terinspirasi dari makalah Bambang Sugiharto, bahwa jangan-jangan, filsafat itu, punya fungsi memuaskan perasaan juga, hati juga. Setiap kita mempertanyakan apa-apa, maka selalu berangkat dari kegelisahan perasaan. Dan ketika kita dapat menjawabnya, setidaknya untuk sementara, maka ketentraman itu terasa juga. Dan ketika nalar itu seperti tak kenal lelah menerjang apa-apa, maka hati, ternyata punya bensinnya sendiri. Ia seperti berkata pada nalar, "Sudahlah, sayang, aku sudah mendapatkan apa yang kau cari. Bahkan sebelum kau berangkat mencari. Aku mendampingimu selama ini, hanya semata-mata mengawasi engkau agar tak tersesat di labirin realita yang sesungguhnya tak menyuguhkan jalan keluar apa-apa."

Lantas, untuk apa filsafat itu? Jika perjalanan nalar pada akhirnya akan dihentikan oleh bisikan hati? Filsafat, bagi saya, adalah sekedar memahami, bahwa tidak ada kebenaran itu sebenarnya. Yang ada, barangkali, mengutip perkataan ayah saya: "Kebenaran, adalah tentang pencarian kebenaran itu sendiri." Filsafat, lewat daya jelajah nalarnya, merupakan cara untuk meyakini bahwa kita, manusia, pada dasarnya turun ke dunia sebagai pengembara. Dan Tuhan, jika boleh saya bilang Tuhan, ternyata tidak ada di ujung mana-mana. Ia ada di tas yang sedang kau jinjing.





Gambar : The Thinker - Auguste Rodin
Sumber Gambar : http://www.southdacola.com/blog/wp-content/uploads/2009/04/rodin20thinker.jpg

Comments

  1. Filsafat itu..

    adalah dimana gue harus deal dengan pertanyaan anak2 di sekolah dasar:

    "Bu, kenapa semut jalan berbaris?"
    "Balon itu terbangnya ke surga ya?"

    ReplyDelete
  2. @Nia: Betul sekali, dan orang dewasa kemudian menganggap filsafat sebagai kajian yang berat dan serius. Padahal filsafat justru sangat kekanak-kanakan.. hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...