Cerita Sahur adalah kumpulan e-mail pribadi yang dikirimkan pada kekasih saya, N, setiap harinya selama Ramadhan 2025. Beberapa diantaranya diunggah di blog atas seizin N.
Selama kamu sakit kemarin-kemarin, aku total tiga kali pulang jalan kaki dari Cilentah ke Rebana selepas antar makanan. Jaraknya lumayan, mungkin hampir dua kilo, tapi entah rasanya ringan saja. Mungkin karena jalurnya lurus-lurus saja, atau karena jalan pulang memang selalu lebih ringan.
Pergi juga dalam waktu-waktu tertentu, sebenarnya ringan-ringan saja. Aku sering jalan kaki dari jam 6-an untuk jemput Baby O alias Si Bocil. Perasaanku juga ringan karena tahu Si Bocil akan mampu menyuntikkan keceriaan dalam waktu singkat perjalanan kami dari Cilentah ke Bhayangkari. Celotehannya yang ajaib selalu mampu meredakan segala keletihan, mengubahnya menjadi kebahagiaan.
Namun perginya aku untuk merawat N sedikit punya perasaan yang berbeda. Ada sense of emergency. Selain memang N yang sehat pun punya natur gak sabaran, N yang sedang sakit pastilah lebih tak sabaran karena sambil menahan rasa tidak enak. Dalam kondisi demikian, aku gak mungkin leyeh-leyeh berjalan kaki sambil sekadar memandangi perjalanan. Aku harus satset dan sebisa-bisa cepat sampai agar obat/ makanan bisa langsung dikonsumsinya.
Setelah berhasil mengantarkan apapun itu dan melihat N barang beberapa detik masih bisa berdiri meski dengan wajah yang mengkerut, perasaan khawatir langsung banyak berkurang. Aku bisa pulang dengan perasaan ringan. Jalan kaki pun tak masalah.
Ah tapi bukankah demikian natur dari sebuah jalan pulang? Kita bisa pergi ke Subang dengan perasaan gelisah dan terasa lama karena khawatir dengan ketidaktahuan sepanjang perjalanan dan apa yang menanti di tujuan. Tetapi setelah tiba di sana dan melaksanakan apa yang telah direncanakan, kita bisa pulang dengan perasaan santuy karena kita melewati jalan yang pernah dilalui (maka itu tidak lagi menjadi misteri) dan tujuannya jelas: rumah, tempat kita bermukim dan bisa tidur lebih nikmat.
Itu sebabnya, meski perjalanan kita kerap terjal dan berkelok-kelok, tapi sejatinya tak ada yang benar-benar misteri, karena inilah jalan pulang, tempat kita kembali setelah berkelana menuju serba ketidakpastian. Meski perjalanan kita masih panjang, tapi tujuan kita jelas. Meski di jalan banyak rintangan, tapi tujuan kita penuh klaritas. Itu sebabnya pada suatu masa, ketimbang bicara I Love You yang lebih bertendensi hasrat bertualang, lebih baik aku katakan: Welcome Home, sayang.
Pulang, yuk kita pulang. Kalau masih belum puas mainnya, tidak apa-apa mampir sebentar ke rest area kita makan padang dan beli cemilan. Maen-maen sebentar keluar jalan tol bermukim semalam dua malam di Purwakarta atau Padalarang. Di sana ada hotel namanya Pak F, rumah makan namanya Dokter W, taman ria namanya FS, kedai remang-remang namanya G, dan alun-alun namanya M. Selebihnya, setelah menyambangi itu semua, pulang, yuk kita pulang. Karena rumah kita sudah disiapkan. Tempat tiada lagi hasrat untuk bepergian.
Dalam hati lelaki ini sudah disiapkan: tempat tidurmu, ayam ungkep untuk hari-hari Si Bocil, serta meja dan laptop untuk kamu membaca dan menulis. Listrik aman, kali-kali aja bunyi kalau kita lagi gak punya wang. Tapi mudah-mudahan, rumah itulah sebaik-baiknya tempat kembali. Pulang, yuk kita pulang.
Comments
Post a Comment