Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Cerita Sahur untuk N #22


Cerita Sahur adalah kumpulan e-mail pribadi yang dikirimkan pada kekasih saya, N, setiap harinya selama Ramadhan 2025. Beberapa diantaranya diunggah di blog atas seizin N. 

Selama kamu sakit kemarin-kemarin, aku total tiga kali pulang jalan kaki dari Cilentah ke Rebana selepas antar makanan. Jaraknya lumayan, mungkin hampir dua kilo, tapi entah rasanya ringan saja. Mungkin karena jalurnya lurus-lurus saja, atau karena jalan pulang memang selalu lebih ringan. 

Pergi juga dalam waktu-waktu tertentu, sebenarnya ringan-ringan saja. Aku sering jalan kaki dari jam 6-an untuk jemput Baby O alias Si Bocil. Perasaanku juga ringan karena tahu Si Bocil akan mampu menyuntikkan keceriaan dalam waktu singkat perjalanan kami dari Cilentah ke Bhayangkari. Celotehannya yang ajaib selalu mampu meredakan segala keletihan, mengubahnya menjadi kebahagiaan. 

Namun perginya aku untuk merawat N sedikit punya perasaan yang berbeda. Ada sense of emergency. Selain memang N yang sehat pun punya natur gak sabaran, N yang sedang sakit pastilah lebih tak sabaran karena sambil menahan rasa tidak enak. Dalam kondisi demikian, aku gak mungkin leyeh-leyeh berjalan kaki sambil sekadar memandangi perjalanan. Aku harus satset dan sebisa-bisa cepat sampai agar obat/ makanan bisa langsung dikonsumsinya. 

Setelah berhasil mengantarkan apapun itu dan melihat N barang beberapa detik masih bisa berdiri meski dengan wajah yang mengkerut, perasaan khawatir langsung banyak berkurang. Aku bisa pulang dengan perasaan ringan. Jalan kaki pun tak masalah. 

Ah tapi bukankah demikian natur dari sebuah jalan pulang? Kita bisa pergi ke Subang dengan perasaan gelisah dan terasa lama karena khawatir dengan ketidaktahuan sepanjang perjalanan dan apa yang menanti di tujuan. Tetapi setelah tiba di sana dan melaksanakan apa yang telah direncanakan, kita bisa pulang dengan perasaan santuy karena kita melewati jalan yang pernah dilalui (maka itu tidak lagi menjadi misteri) dan tujuannya jelas: rumah, tempat kita bermukim dan bisa tidur lebih nikmat. 

Itu sebabnya, meski perjalanan kita kerap terjal dan berkelok-kelok, tapi sejatinya tak ada yang benar-benar misteri, karena inilah jalan pulang, tempat kita kembali setelah berkelana menuju serba ketidakpastian. Meski perjalanan kita masih panjang, tapi tujuan kita jelas. Meski di jalan banyak rintangan, tapi tujuan kita penuh klaritas. Itu sebabnya pada suatu masa, ketimbang bicara I Love You yang lebih bertendensi hasrat bertualang, lebih baik aku katakan: Welcome Home, sayang. 

Pulang, yuk kita pulang. Kalau masih belum puas mainnya, tidak apa-apa mampir sebentar ke rest area kita makan padang dan beli cemilan. Maen-maen sebentar keluar jalan tol bermukim semalam dua malam di Purwakarta atau Padalarang. Di sana ada hotel namanya Pak F, rumah makan namanya Dokter W, taman ria namanya FS, kedai remang-remang namanya G, dan alun-alun namanya M. Selebihnya, setelah menyambangi itu semua, pulang, yuk kita pulang. Karena rumah kita sudah disiapkan. Tempat tiada lagi hasrat untuk bepergian. 

Dalam hati lelaki ini sudah disiapkan: tempat tidurmu, ayam ungkep untuk hari-hari Si Bocil, serta meja dan laptop untuk kamu membaca dan menulis. Listrik aman, kali-kali aja bunyi kalau kita lagi gak punya wang. Tapi mudah-mudahan, rumah itulah sebaik-baiknya tempat kembali. Pulang, yuk kita pulang.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...