Cerita Sahur adalah kumpulan e-mail pribadi yang dikirimkan pada kekasih saya, N, setiap harinya selama Ramadhan 2025. Beberapa akan diunggah di blog atas seizin N.
Percakapan imajiner dengan O, putra N, ceritanya di suatu masa ketika dia mulai dewasa:
"O, gimana, kamu jadi kasih bunga dan kue untuk Haliza?"
"Iya, dia senang sekali! Katanya belum pernah ada laki-laki seperhatian ini sama dia."
"Oh ya?"
"Iya, tapi O gak percaya kata-kata nya. Kan dia habis jalan sama cowok. Mungkin dia katakan juga hal yang sama pada cowok itu."
"Mungkin saja, O, tapi mungkin juga dia sungguh-sungguh mengatakan hal demikian pada O."
"Tapi, bagaimana kita tahu mana yang benar mana yang tidak, Om?"
"O, cinta bukan sains, kita tidak bisa membuktikannya secara pasti. Tapi karena tidak bisa dibuktikan sepenuhnya itu, kita kadang cuma bisa meyakininya."
"Gimana maksudnya, Om?"
"Kamu tahu, Mami adalah orang yang tidak pernah mengatakan cinta sama O di periode awal kami berpasangan. Mami juga tidak pernah berkata mesra pada O. Pokoknya lempeng aja gitu."
"Masa? Kalau gitu gimana Om Sarif tau kalau Mami mau sama Om Sarif?"
"Om Sarif gak tau O. Malah Mami bisa manggil mesra sama mantan-mantan Mami atau orang yang ngedate lainnya. Tapi sama Om Sarif sih enggak ya."
"Wah, kalau O jadi Om Sarif sih bingung."
"Memang, dan Om Sarif harus menjalani kenyataan itu bertahun-tahun. Tapi kemudian Om Sarif berpikir lamaaa sekali sampai akhirnya mengerti. Bahwa kemesraan itu hanya satu jenis saja dari perasaan yang muncul ketika berpasangan, tetapi itu bukanlah segala-galanya. Banyak yang lebih penting."
"Apa misalnya, Om."
"Lihat pasangan engko cici di toko-toko kelontong milik orang Chinese. Mereka tampak dingin satu sama lain. Malah keliatan gak pernah bermesraan, pegangan tangan, atau bilang cinta. Ya kita gak tahu ya di belakangnya seperti apa, tapi keliatannya sih hal-hal seperti itu gak penting lagi buat mereka yang mungkin udah jalanin pernikahan puluhan tahun."
"Hmmm iya juga ya. O pernah liat pasangan-pasangan yang bareng terus sampe tua. Kayanya sih apa ya, ya mereka udah gak pernah cemburu satu sama lain, baper pun secukupnya, yang penting sih kayanya bareng terus."
"Persis. Mami adalah jenius dalam ngemaintain hubungan dengan Om Sarif. Mami selalu memberi perhatian secukupnya, cinta nya pun kelihatan diirit-irit, tapi satu hal yang pasti: Mami tidak pernah meninggalkan Om Sarif, meskipun Mami punya banyak teman laki-laki yang ngecengin Mami."
"Terus, Om."
"Mami sering nitipin O di rumah Om Sarif. O dibiarin nginep, bahkan bisa berhari-hari. Seringkali jadinya Om Sarif yang nyiapin sarapan, baju-baju O, dan anter jemput O. Kamu tahu, O, dalam kebiasaan berpasangan umumnya orang Jerman, mereka merasa tak penting bilang ekspresi-ekspresi cinta macam Ich liebe dich. Dua orang dikatakan sudah sah berpasangan kalau mereka sudah berbagi kepemilikan. Misalnya, sikat giginya sudah disimpan di tempat tinggal partnernya, atau baju dan handuknya. Mami lebih daripada sekadar barang-barang perentilan semacam itu: dia berbagi anak laki-laki nya, hal paling ia sayangi, lebih dari apapun."
"Wah, berani juga ya, Mami."
"Iya, sayang, dia merasa gak perlu mengatakan hal-hal semacam Ich liebe dich, I love you, dan sebagainya. Ungkapan seperti itu baginya kosong, tidak punya arti sama sekali. Tetapi menitipkan anak laki-laki nya, sebagai perhiasannya yang paling berharga, jauh melampaui pernyataan cinta apapun. Om Sarif dulu gak ngerti sama sekali, karena Om Sarif selalu ingin diperlakukan seperti teman2 dekat atau mantan-mantan Mami pada umumnya saja."
"Kenapa Mami bisa seperti itu ya?"
"Bahkan sebelum Om Sarif merasa cinta Om Sarif diterima Mami, Mami sudah tahu bahwa Om Sarif lah yang akan menemaninya sampai hari tua. Om Sarif tidak tahu bagaimana Mami bisa berpandangan seperti itu, meskipun kita bisa lihat buktinya sekarang. Mami sudah tahu bahwa bareng Om Sarif harusnya seperti pasangan2 engkoh dan cici itu: lebih baik dingin-dingin tapi saling ada untuk satu sama lain, dengan api yang stabil, karena api yang terlalu membara akan membakar keduanya."
"Ah, Mami..."
"Iya, sayang, lihat sampai sekarang Mami santai-santai aja sama Om Sarif kan. Karena hatinya tidak pernah berubah dari dulu dan kelihatannya dia yakin akan begitu untuk seterusnya. Sementara Om Sarif kadang masih ragu aja sama Mami, beneran cinta gak ini teh? Tapi ah sudahlah, Om Sarif juga sih, rasanya, sudah gak akan ke lain hati."
"Hehehe lucu ya kalian. Jadi, kalau Haliza bilangnya begitu, O harus santai aja nanggepinnya?" "Iya, kita tidak tahu isi hati Haliza. Mungkin dia mengatakan hal sederhana seperti itu karena tidak mau terlalu berlebihan memberikan api bagi O. Mungkin Haliza ingin menjaga api bersama O, seperti Mami yang baik sekali menjaga api bersama Om Sarif."
"Mungkin juga ya."
"Ya, anakku, tapi terlalu dini untuk mendeteksi apa kemauan Haliza. Seperti kata Om Sarif, lakukan saja tugas O satu per satu, nanti O tau-tau akan sampai pada periode ujian demi ujian. Tak perlu pusing apakah pada akhirnya Haliza orangnya atau bukan, yang penting setiap melewati ujian, O akan naik kelas seperti O melewati SD, SMP, SMA, sampai sekarang kuliah. Om Sarif sendiri harus melewati ujian dua kali pernikahan, beberapa kali dekat sama teman perempuan, sampe akhirnya finis bareng Mami hehehe."
"Oke, jadi O tinggal jalani aja ya."
"Ya, anakku, kejarlah sebisanya, tapi kalau bukan dia orangnya, O akan menemukan yang lain. Karena, O, cinta itu bukan kita yang mengarahkan, tetapi kita sendiri yang diarahkan oleh cinta. Setiap kita memilih menjalani sebuah cinta, kita artinya memilih untuk digiring olehnya, menuju suatu tempat entah ke mana. Namun kemanapun tempat itu, kita sudah pernah berpasrah padanya, entah mengarah menuju kebahagiaan, atau malah menuju tusukan pedang. Semuanya adalah risiko dalam menjalani sesuatu bernama cinta."
"Jadi, O sayang, lakukanlah, jangan takut, meski nanti di ujung kamu akan berdarah-darah, tapi hal demikian jauh lebih terhormat, ketimbang diem-diem bae karena takut mengambil risiko. Mami kamu memilih Om dengan segala risiko, waktu itu Om tidak ada pekerjaan dan tidak punya teman. Om juga memilih Mami dengan segala risiko, sebagai orang yang baru cerai dan punya anak laki-laki gak mau diem kayak kamu. Banyak sekali tantangannya, tapi Om Sarif mau mengambil risikonya."
"Oke, Om, ini keren. Tapi O perlu waktu buat mencernanya boleh gak?"
"Iya, Tho, gak semua hal harus dimengerti langsung. Nanti kelak kamu juga paham. Sekarang kamu tetap beri perhatian sama Haliza, ajak ngedate sesekali, kalau dia memilih sama orang lain, O terima dengan besar hati, jangan kayak Om Sarif dulu suka marah-marah kalau ditolak ajakannya sama Mami. Asal O hadir terus meski tipis-tipis, lama-lama Haliza pasti memikirkannya kok."
"Baik, Om, O akan coba!"
"Hahaha ya, seperti O yang dulu selalu mencoba supaya bisa merebut laptop dari Om Sarif supaya bisa main Roblox. Rebut, O!"
"Yeahhh!"
Comments
Post a Comment