Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Tentang Hukuman Mati


Baru saja saya menyelesaikan tugas sebagai moderator diskusi hukuman mati. Topik ini sebenarnya tidak pernah menjadi hal yang saya fokuskan. Soal hukuman mati saya selalu mengacu pada cerpen Anton Chekhov berjudul Pertaruhan. Dalam cerpen tersebut, diceritakan bagaimana bankir dan ahli hukum bertaruh mana hukuman yang lebih baik, hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Ahli hukum, yang memilih opsi kedua, bersedia mendekam di penjara selama lima belas tahun dan jika ia berhasil melewatinya, maka lawan taruhannya harus membayarnya dua juta rubel. Bankir yakin akan memenangkan pertaruhan ini karena siapa yang mau secara sukarela mengurung dirinya sendiri di penjara selama lima belas tahun? 

Namun tak disangka-sangka, bankir berhasil membuat dirinya betah bertahun-tahun karena membaca buku. Begitu banyaknya ia membaca buku sehingga ia mendapatkan suatu kebijaksanaan yang membuat pertaruhan tersebut terasa sia-sia. Kita tidak perlu membahas bagaimana akhir dari pertaruhan ini karena takut menjadi spoiler bagi mereka yang berminat membacanya sendiri. Meski tidak tersurat, tetapi saya bisa setidaknya menyimpulkan bahwa hukuman seumur hidup, dalam tafsir saya terhadap cerpen Chekhov tersebut, lebih baik karena memberi kesempatan si terhukum untuk memperbaiki dirinya, berubah menjadi orang yang lebih baik. Sebenarnya alih-alih mengambil hikmah tentang hukuman mati dari cerpen tersebut, saya lebih tertarik membaca kesan si ahli hukum tentang membaca. Dalam cerpen tersebut, Chekhov menceritakan dengan indah bagaimana membaca membuat si ahli hukum dapat mengembangkan pikirannya jauh melampaui tembok-tembok penjara sehingga ia tidak pernah merasa bosan meski mendekam lima belas tahun. 

Meski ditulis dalam bentuk fiksi, argumen Chekhov tentang penolakan hukuman mati, bagi saya, tetap kokoh. Sementara itu, di sisi lain, umumnya mereka yang pro hukuman mati mempunyai sekurang-kurangnya dua alasan yaitu pertama, perkara retribusi atau pembalasan atau sering diilustrasikan dengan "mata dibalas mata". Hukuman mati dianggap "adil" karena mereka yang telah misalnya, membunuh seseorang, mesti juga kehilangan nyawanya. Immanuel Kant bahkan membela hukuman mati dengan mengatakan bahwa hukuman harus dijatuhkan sebagai bentuk penghargaan kita terhadap maksim universal si pelaku kejahatan yang jika ia membolehkan dirinya untuk membunuh, maka sudah sepatutnya kita selaku pengadil membolehkan diri kita juga untuk membunuh si pembunuh. Alasan kedua umumnya berkaitan dengan efek jera. Dengan melaksanakan hukuman mati terhadap suatu kejahatan, maka diharapkan orang menjadi enggan untuk melakukan kejahatan serupa. 

Bantahan terhadap dua alasan tersebut juga sudah sering dikemukakan. Tentang retribusi, kita tidak tahu hingga seberapa jauh pembalasan tersebut dapat terpuaskan. Misalnya, jika seseorang membunuh anak kandung orang lain, apakah orang lain tersebut merasa terpuaskan jika anak kandung si pembunuh juga dibunuh? Atau hal tersebut tidak membuatnya puas dan bisa jadi malah ingin membunuh seluruh keluarganya? Selain itu, alasan retributif juga seringkali gagal secara etis karena mengapa kejahatan seseorang mesti dibalas dengan kejahatan yang sama? Tidakkah kita menjadi "sama" dengan orang jahat tersebut? Sementara terhadap alasan efek jera, umumnya bantahan yang diungkapkan adalah terkait tidak adanya bukti meyakinkan bahwa hukuman mati menekan angka kejahatan. Bahkan bagi orang dengan ideologi tertentu, hukuman mati bisa menjadi suatu kebanggaan, ia merasa telah menjadi martir, yang membuat kelompoknya bertambah semangat. 

Masalah lain pada hukuman mati adalah ketidakmungkinannya untuk merevisi putusan pasca eksekusi dijalankan (karena orangnya sudah telanjur mati). Padahal putusan hakim bisa saja keliru. Selain itu, dalam pelaksanaannya, hukuman mati juga biasanya bias kelas. Umumnya pada orang-orang golongan ekonomi menengah ke bawah atau mereka yang mendapat diskriminasi secara sosial, hukuman mati lebih mudah dijatuhkan ketimbang pada orang-orang kaya dan berprivilese. Terakhir, dalam nuansa yang lebih teologis, kita bisa katakan bahwa negara bukan Tuhan, ia, dan siapapun juga, tidak berhak mengambil nyawa siapapun.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...