Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Ke Jakarta Kali ini Begitu Berkesan



Antara tanggal 1 hingga 3 Maret kemarin, saya berada di Depok dan Jakarta, terutama Jakarta Selatan. Keberangkatan saya ke Jakarta didasari oleh beberapa acara. Acara pertama adalah ajakan Mba Yayas untuk ikut mengajar di kelasnya, yaitu kelas eksistensialisme dan filsafat timur. Ajakan ini tentu tidak resmi karena saya tidak terdaftar sebagai dosen di UI. Namun karena sudah berkali-kali nimbrung di berbagai kelas online di UI, maka tiada salahnya saya sesekali memenuhi ajakan offline. Kebetulan, selang dua hari kemudian saya mesti memoderatori acara diskusi tentang hukuman mati di daerah Tebet sehingga saya memutuskan untuk tidak pulang dan tinggal selama tiga hari di sana. Puspa juga memutuskan untuk mengambil cuti dan turut pergi ke Jakarta sehingga lengkaplah acara ini sebagai sekaligus acara "intelektual" tapi juga sekaligus personal. Awalnya saya sedikit pesimis dengan keberangkatan ini. Pertama, apakah Mba Yayas sungguh-sungguh mengajak saya pergi untuk sekadar mendampingi mengajar? Jika iya, tentu agak melelahkan untuk pergi ke luar kota "hanya untuk itu". Kedua, persiapan acara diskusi hukuman mati ternyata banyak gangguan sehingga saya sempat bete. Intinya, saya dihantui sejumlah pertanyaan, apakah perjalanan ini akan menyenangkan atau sebaliknya, hanya mendapat lelahnya saja? 

Dimulai dari hari pertama di UI Depok, Mba Yayas tanpa tedeng aling-aling langsung meminta saya untuk menerangkan tentang Nietzsche di kelas eksistensialisme. Saya tentu saja gugup karena belum pernah berhadapan dengan mahasiswa dan mahasiswi UI secara luring. Namun syukurlah, meski tidak dapat dikatakan sukses, setidaknya saya dapat melaluinya tanpa malu-maluin. Setelah makan siang, kami masuk ke kelas berikutnya yakni filsafat timur. Di kelas ini, Mba Yayas lebih banyak mengajar dan saya lebih banyak beristirahat! Namun tetap saja, saya merasa perlu punya guna agar Mba Yayas tidak merasa sendirian. Alhasil, sepanjang kelas saya berusaha tektokan dengan Mba Yayas supaya mahasiswa dan mahasiswa mendapatkan materi dengan cara yang lebih hidup (karena ada dialog). Pasca dua kelas tersebut, kami nongkrong di Citos. Di sana bergabung juga Mba Upie, Azis (suaminya) dan Fandy, mahasiswa filsafat UI yang saya pikir sudah dapat dianggap teman. Di Citos, kami memilih sebuah tempat yang tentu bisa merokok dan kami bergosip, tertawa-tawa, sampai sekitar dua jam lebih. Setelah itu saya bersiap-siap menjemput Puspa (yang datang menyusul) dan kami memutuskan tidur di hotel malam itu. 

Keesokan harinya, saya dihubungi teman satu kelas di program doktor STF Driyarkara, Pak Rinaldi. Kami mengobrol topik filsafat, terutama terkait penelitian kami sepanjang dua setengah jam hampir non stop. Setelah pertemuan tersebut, saya mengajak istri ke tempat makan yang sangat hits dan menarik perhatian di Twitter yaitu Warpopski. Harga makanannya cukup mahal tapi porsinya sepadan dan rasanya enak (sesuai dengan testimoni orang-orang di Twitter). Intinya, kami puas dengan makan siang tersebut, sebelum akhirnya bergegas ke blok M untuk bertemu Mba Upie terkait urusan pinjam meminjam Zoom yang sudah kami prediksi, akan ditutup juga dengan makan malam bersama. 

Tempat makan malam kami namanya Kashiwa, restoran Jepang di kawasan blok M. Meski sudah berkali-kali, kami terheran-heran mengapa makanan di Kashiwa bisa enak sekali. Tepat pukul delapan, kami segera pulang karena harus menjalankan Kelas Isolasi pukul sembilannya. Puspa dan saya malam itu tidur di rumah sepupu di kawasan Rasamala, yang jaraknya 500 meter saja dari tempat saya menjadi moderator keesokan harinya. Sekali lagi, tidak disangka-sangka, tempat sepupu saya itu enak dan nyaman, dan yang lebih penting, kami tetap dibiarkan punya privasi (tidak perlu banyak berbasa-basi dengan tuan rumah karena yah, kami sama-sama tahu bahwa kami kurang suka berbasa-basi). Setelah Kelas Isolasi, kami tidur nyenyak dan Puspa besok paginya langsung pulang ke Bandung karena mengejar jam klinik pukul sepuluh. 

Di hari ketiga, saya hanya berfokus pada acara sore yakni menjadi moderator diskusi tentang hukuman mati. Sambil menunggu sore, saya menyempatkan ngobrol-ngobrol dengan sepupu si empunya rumah yang saya panggil Ain. Obrolannya cukup mendalam dan membuat ia tertarik pada filsafat. Setiap saya menemukan orang yang kemudian tertarik pada filsafat, saya selalu gembira. Bukan karena suatu perasaan bahwa dunia ternyata menjadi lebih kritis, bukan, tetapi sesederhana: teman ngobrol saya bertambah. Singkat cerita, sore tiba, dan saya menuju lokasi. Di sana, datang juga teman-teman mahasiswa dan mahasiswi filsafat UI sekitar tujuh atau delapan orang, yang sesudah acara kami lanjut bercengkerama. Pukul sebelas malam, saya pulang nebeng sepupu saya yang lain, Giva. 

Kunjungan ke Jakarta periode kemarin begitu membahagiakan. Mengapa? Saya merasa lengkap: pergi bersama istri dan kelihatannya membuatnya bahagia lewat Warpopski dan Kashiwa, bisa bersentuhan kembali dengan suasana kampus beserta segenap manusia menyenangkan di dalamnya, menjalankan tugas sebagai moderator dengan baik, dan bisa bercengkerama dengan saudara membicarakan hal-hal yang mendalam. Saya bisa mengatakan bahwa itulah dunia yang saya tinggali. Itulah keseluruhan dunia bagi saya. Istilah "terkenal ke seluruh dunia" rasanya sudah tidak relevan lagi bagi saya, karena "dunia" selalu tergantung dari hal-hal yang kita hidupi dan hayati setiap harinya.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...