Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...
![]() |
| Gambar diambil dari sini. |
Ludwig Wittgenstein adalah filsuf asal Wina dari awal abad ke-20 yang pemikirannya bertalian dengan bahasa dan dituangkan dalam dua bukunya yaitu Tractatus Logico Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953). Buku kedua berjarak 22 tahun dari buku pertama dan isinya justru merevisi pemikirannya terdahulu. Di buku pertama, Wittgenstein mengatakan bahwa bahasa adalah "gambar fakta". Artinya, jika ada gambar, atau kata, maka ada faktanya. Jika sebuah gambar tidak memiliki basis fakta, maka itu omong kosong, atau lebih baik dikatakan nilai kebenarannya hanyalah psikologis ketimbang logis.
Di buku kedua, Wittgenstein mengakui bahwa dulu dia sangat kaku dalam memahami bahasa. Ia lebih setuju kalau bahasa bukan perkara benar atau tidaknya, melainkan bagaimana penempatannya dalam satu konteks permainan (language game). Jadi kalau kita bilang "Cus!", meski tidak ada relasi logisnya, tapi punya nilai kebenaran dalam permainan capsah.
Namun bukan pemikiran Ludwig saja yang akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan keluarga Wittgenstein yang sangat menarik. Keluarga Wittgenstein terdiri dari sembilan bersaudara dan bisa dikatakan sebagai keluarga terkaya di Wina saat itu. Untuk menggambarkan kekayaannya, bisa diilustrasikan sebagai berikut: Secara reguler, komposer Gustav Mahler dan Johannes Brahms menggelar konser di kediaman keluarga tersebut. Lalu sang ayah, Karl, adalah orang yang rutin membiayai pameran-pameran Auguste Rodin. Lalu adik perempuan Ludwig, Margaret, pernah dilukis oleh Gustav Klimt pada tahun 1905.
Selain Ludwig, kakaknya, Karl, adalah juga "orang sukses", dengan karirnya sebagai pianis bertangan satu - satu tangannya diamputasi karena perang -. Meski demikian, tiga dari sembilan bersaudara keluarga ini meninggal akibat bunuh diri.
Pemikiran-pemikiran mungkin lebih mudah disampaikan dalam konteks sosial-ekonomi-politik yang "menang". Dalam kehidupan kontemporer pun demikian, orang kaya dan berkuasa tampak lebih didengar meski secara argumentatif sebenarnya omong kosong. Pertarungan wacana harus dimenangkan sebelum narasi-narasi disampaikan. Ya tidak artinya harus jadi punya kekuasaan dulu. Wacana bisa dimenangkan lewat idealisme dan konsistensi terus menerus, yang pada akhirnya membuat kekuasaan itu sendiri menoleh dan bahkan tunduk.
Namun kemenangan wacana saja tidak cukup. Ludwig adalah contoh filsuf yang sudah memenangkan pertarungan wacana akibat posisi sosial keluarganya yang tinggi, tapi kemudian ia menulis pemikiran penting, yang dapat dikatakan juga mengandung kerendahan hati (karena itu tadi, pemikirannya bersedia dikoreksi oleh dirinya sendiri). Kemenangan, kekayaan dan kecerdasan adalah tanggung jawab besar bagi kemanusiaan.

Comments
Post a Comment