Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Lebaran tahun 1438 Hijriah ini, dunia digital masih dan semakin berkuasa. Nyaris setiap menit (atau bahkan detik), pesan demi pesan masuk ke Whatsapp saya, yang kadang saya baca, tapi umumnya tidak. Kenapa tidak dibaca? Tentu saja, karena pesan itu semua terlihat sama saja. Mungkin ada beberapa yang kreatif - yang menimbulkan senyum kecil, yang membuat saya ingin meneruskan pesan itu - tapi sayang sekali, tidak orisinil. Ia yang saya pikir kreatif itu, juga meniru dari yang lain.
Tapi dalam dunia kontemporer ini, mungkin orisinalitas adalah isu yang ketinggalan. Semua memproduksi, semua mengonsumsi. Di masa lebaran, kita berada dalam pusaran "digitalisasi maaf-maafan" yang sangat masif, sehingga semua bisa kreatif, semua bisa inovatif, semua bisa merajut kata-kata indah, semua bisa menyuguhkan ragam visual yang estetis, tapi sekaligus: semua menjadi tidak bermakna.
Pada titik ini, kita sudah sulit berbicara "medium is the message"-nya Marshall McLuhan yang mungkin menjadi terlampau romantis. Kemarin-kemarin ini memang ada yang kirimi saya kartu lebaran dan rasanya sangat indah dan personal - meski pesannya sederhana, tidak dirangkai kata-kata manis-: hanya tulisan "Selamat Idul Fitri" dengan tertanda dari si pengirim dengan tulisan tangan. Tapi hampir tidak mungkin kita membudayakan kembali (atau menyuguhkan solusi berupa) kartu lebaran atas nama personalisasi maaf-maafan. Jika sudah ada yang praktis, tentu orang sudah tidak mau lagi kembali ke yang rumit (proses membeli kartu, menuliskan pesan, dan mengirimkan via pos atau gojek).
Sisa-sisa makna yang masih tinggal di pusaran digital ini barangkali pesan-pesan sederhana yang masuk ke gawai saya, dengan bunyi-bunyi seperti:
"Rip, maaf lahir batinnya, urang rea salah."
"My bro, selamat hari raya Idul Fitri ya."
"Selamat idul fitri untuk Mr. Syarif, mami Aika, Aika dan family. Mohon maaf lahir dan batin."
Dan sebagainya yang punya nuansa personal yang kuat. Mungkin memang diantaranya hanya mengganti subjek yang disapa saja (sedangkan kata-kata berikutnya tinggal copy-paste saja), tapi toh, seperti kata pemikir Neo-Marxisme, Louis Althusser, perbuatan itu sedikitnya telah menciptakan suatu nilai interpelatif atau "keterpanggilan". Artinya, jangan dulu berpikir apakah ketika kita mengirimkan pesan lebaran, orang yang menerima akan memaafkan kita atau tidak. Jauh lebih dasariah daripada itu, patut kita pertanyakan terlebih dahulu: Apakah yang menerima pesan, merasa terpanggil (untuk membaca dan meresapinya) atau tidak.
Comments
Post a Comment