Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Bahkan Pelacur Pun Enggan

 

 Pada suatu pertemuan di Facebook, saya berbincang dengan "Sang Maulana" Bambang Q-Anees. Saya, seperti biasa, bertanya hal-hal yang sangat mendasar. B-Q (demikian saya panggil dia), seperti biasa, menjawabnya dengan sangat rumit. Pertanyaan saya sederhana saja, "Bagaimana agar saya dapat menjadi seorang dosen yang baik?" B-Q menjawabnya dengan mengutip satu cerita dalam novel Milan Kundera yang berjudul Book of Laughter and Forgetting, tentang seorang pelacur yang akan melayani tamunya. Ketika tahu bahwa tamu itu adalah seorang intelektual, pelacur itu dipenuhi rasa enggan. Mengapa? Ia tahu, seorang intelektual adalah seorang yang amat membosankan di atas ranjang. Cerita itu ditutup B-Q sampai di sana. Saya tertegun karena merasa tidak mendapat jawaban apa-apa. 

Obrolan tersebut berlangsung sekitar dua setengah tahun silam. Sekarang, setelah saya merasakan dua setengah tahun menjadi dosen, kata-kata tersebut lambat laun saya pahami. Saya sadar bahwa menjadi seorang dosen ternyata mengubah seluruh laku dan gerak gerik tubuh saya. Ini tentu karena keharusan (atau mungkin juga dogma), bahwa sudah seharusnya dosen jaim, sudah seharusnya dosen memberi contoh apa "yang benar", sudah seharusnya dosen menjaga sikap dan perbuatan agar kesan intelektual selalu terpancar, terutama di hadapan mahasiswa. Gestur tersebut lama kelamaan saya kuasai. Saya bisa sangat berbeda perilaku antara di kampus dengan di luar kampus. Di luar kampus saya bebas saja, senang menggunakan celana jeans (atau bahkan celana pendek) dan kaos, bercanda sekenanya, dan nongkrong dengan sikap yang tidak dibuat-buat. Di kampus, saya mengenakan kemeja rapi (kadang dimasukkan ke celana), menggunakan sepatu resmi, kadang membawa buku (padahal tidak saya baca), dan berjalan dengan gaya yang aneh sekali (sedikit membungkuk agar terlihat bahwa saya tengah memikirkan sesuatu yang berat. Sedemikian beratnya hingga membuat kepala saya tidak sanggup menopangnya, dan akhirnya saya harus berjalan membungkuk). 

Apa hubungan antara kata-kata B-Q yang mengutip Milan Kundera, dengan apa yang saya paparkan di paragraf kedua? Mungkin kira-kira begini: Seorang intelektual (misalnya: dosen) berkutat dengan hari-hari yang akademis. Gesturnya berubah kaku, cara pandangnya berubah teoritik dan kadang apa-apa harus diabstraksi, tujuan hidupnya menjadi sangat jauh ke depan, seolah-olah dunia akan terus mengarah pada pencerahan dan manusia semakin lama akan hidup pada kondisi yang paripurna. Tapi pelacur dalam kisah Kundera mengingatkan saya untuk tidak melupakan cara seks yang baik. Artinya: Menikmati hidup, dengan gestur yang instingtif, dengan cara pandang yang praktis, dan tujuan hidup yang ringan-ringan saja: carpe diem. Hiduplah untuk hari ini. 

Epilog: Kemarin saya diminta mendongeng untuk anak-anak di Taman Hutan Raya Juanda. Saya menyanggupi, walau belum pernah secara khusus mendongeng untuk publik. Saya berlatih sungguh-sungguh, dan juga memikirkannya hampir di setiap kesempatan. Tapi ketika di atas panggung, tubuh dosen saya ternyata dominan. Saya dipenuhi kekakuan yang menyebalkan. Saya seperti menghadapi para mahasiswa yang lewat tatapan matanya sama sekali tidak memberi ruang bagi dosen untuk berbuat "dosa". Saya seharusnya melepas seluruh urat malu hingga tidak tersisa. Tapi apa daya, tubuh saya, yang sudah terbiasa dengan ruang akademik yang membosankan, menahan jiwa untuk tetap pada dudukannya. 

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...