Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Pertama kali saya mendengar nama "Metallica" adalah ketika SD. Waktu itu, kakak saya mewartakan kegembiraannya setelah membeli Black Album dengan harga Rp. 3.000. Katanya, "Album Metallica ini keren sekali. Coba lihat sampulnya. Seperti yang hitam pekat kan? Padahal ada gambar ularnya!" Setelah itu saya lupa sama sekali tentang Metallica hingga akhirnya pada masa SMP, saya menemukan majalah HAI edisi khusus membahas Metallica. Jadi, pertemuan pertama saya dengan Metallica tidak lewat musiknya terlebih dahulu, melainkan dengan mula-mula ikut-ikutan kakak saya dan membaca sejarahnya. Kaset Metallica yang saya beli pertama kali adalah Ride The Lightning . Album tersebut dibeli di Yogya ketika study tour bersama teman-teman satu angkatan. Saya, yang waktu itu kelas 2 SMP, sangat terkejut dengan kecepatan band ini sejak dari track pertamanya yang berjudul Fight Fire with Fire . Padahal dalam lagu tersebut, saya dibuai dengan petikan gitar akustik yang lembut ...