Skip to main content

Komentar atas Madilog (Bab Filsafat)

Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat "Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi. Tan Malaka menempatkan Friedrich Engels sebagai sosok kunci dalam menuntun manusia keluar dari kekacauan berpikir mistik menuju pemahaman filsafat yang ilmiah dan materialis. Dengan menyebut Engels sebagai “penunjuk jalan,” ia menegaskan pentingnya p...

Batu Nisan Kaum Kiri

Sekitar bulan lalu, kira-kira tanggal 28 Desember (saya ingat, karena sehari sebelum final Piala AFF), saya jalan-jalan bersama pacar dan teman-temannya di Mal FX, kawasan Sudirman, Jakarta. Sore itu kami bermaksud nonton film Gulliver's Travel. Kala berjalan menyusuri mal-menuju bioskop, saya menemukan ada tempat makan yang menarik. Namanya Foodism. Menarik karena banyak foto wajah orang terpampang di dalamnya. Yang dipajang bukan foto orang sembarangan, mereka adalah orang-orang yang akrab disebut dalam sejarah. Apa maksud restoran tersebut memasang wajah mereka, saya tidak paham. Kalau saya tanya-tanya pelayannya pun mungkin mereka geleng-geleng saja. Saya juga saat itu sudah kenyang, sehingga tidak tertarik makan di dalamnya.


gambar diambil dari sini

Ketidakpahaman saya akan "Mengapa mereka semua ada disana?" menggelitik saya untuk menerka-nerka saja. Dari beberapa foto di sana, tiga diantaranya adalah tokoh besar dari kalangan kiri, yakni Lenin, Marx, dan Mao. Tak perlu bahas semuanya, cukup kita bahas singkat Karl Marx saja. Karena Lenin dan Mao pun sesungguhnya mengklaim diri sebagai Marxis sejati. Marx, kita tahu, dia adalah pendekar yang menentang segala bentuk ekploitasi dari para kapitalis. Ia barangkali merupakan orang pertama yang "sangat curiga" dengan bentuk ucapan dan janji manis kapitalisme yang saat itu tengah merajalela seiring revolusi industri. Marx akhirnya menyuarakan keberatannya ini dalam semacam ajakan bagi kaum buruh untuk bersatu, menggulingkan para pemilik modal dan tuan tanah, membiarkan diri untuk dipimpin oleh seorang diktator proletariat, hingga berujung pada bubarnya negara-negara karena seluruh manusia sejahtera secara merata. Utopis? jelas, karena faktanya sekarang ini negara-negara Komunis yang mengklaim menganut ideologi Marx tumbang satu per satu. Barangkali kita cuma bisa melihat sisa-sisanya dalam diri Kuba ataupun Korut. Di Indonesia apalagi, sejak diklaim sebagai "bahaya laten", ruapan gerak kaum Marxis menjadi sangat terbatas dan sedikit demi sedikit diberangus. Sekarang ini ide dan cita-cita Marx soal penyamarataan ditandaskan dengan mudah oleh kapitalisme. Marx mengakui, untuk menjadikan segalanya sama rata sama rasa sesuai cita-cita, butuh revolusi, revolusi kelas. Ini yang sulit dan tidak mendapat tempat. Setiap tercium bau revolusi, kapitalisme segera menawarkan ancaman, "Hayo, gak takut kelaperan lu?"

Bayangan saya kembali ke restoran itu, yang bernama Foodism itu. Disana juga ada Gandhi dan Ali. Orang yang dengan gigih mau berdiri di atas kakinya sendiri untuk menentang perang. Gandhi menawarkan tiga gerakan rakyat, yakni Ahimsa, Satyagraha, dan Swadeshi, untuk mengakhiri pendudukan kolonial Inggris. Sedangkan Ali sang petinju, ia berkoar-koar soal betapa Perang Vietnam tidak beradab bagi umat manusia. Semuanya, mereka: Marx, Lenin, Mao, Gandhi, dan Ali, yang barangkali berurat baja pada hampir sepanjang hidupnya, sekarang boleh melemaskan otot-otot dan duduk bahagia di balik bilik kaca. Otaknya yang mendidih kala berjuang dan bertarung, sekarang telah dibuat adem oleh freon. Kata-kata yang akrab mendesing di telinga mereka dulu, seperti "Perlawanan, revolusi, kejayaan," sekarang diganti oleh celetukan santai seperti, "best-order, hang-out, atau thanks god it's Friday!" Kapitalisme, sekali lagi, sukses berjaya. Dan kali ini ia mengukuhkan kejayaannya bulat-bulat, dengan berkata pada para pembesar itu:

"Saksikan, wahai para Revolusionaris. Sesungguhnya, kaum proletar yang kalian bela sekarang tak berdaya. Mereka beli, mereka mengonsumsi, mereka kenyang dan setelah itu enggan berjuang. Sesungguhnya yang lemah dilarang menang!"

Comments

  1. seperti yang elu pernah bilang, sulit membicarakan Marx di dalam sebuah hotel mewah yang wangi, nyaman, sejuk dan penuh dengan makanan yang aduhai menggoda...betul kan?
    Love this very much, as always!

    ReplyDelete
  2. Thalut punya hak jadi raja.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...