Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Kenangan


Ketika menulis ini saya baru saja pulang. Pulang dari acara kumpul bersama teman-teman. Hal yang tadinya saya ragu untuk melakukannya karena suatu prinsip yang saya teguhkan sendiri: Tidak ada main sebelum kuliah lulus. Kebetulan (Insya Allah) sidang kelulusan hanya tinggal dua mingguan lagi. Saya pikir saya bisa menahan diri untuk tidak berjumpa kawan-kawan jika cuma dua pekan. Namun entah kenapa, SMS ajakan tadi siang begitu sulit untuk ditolak. Saya merasa bahwa ajakan ini adalah semacam upaya untuk "menyeimbangkan" diri. Betapa kegiatan menulis tesis sudah sangat menjengahkan, rutinitas tambah lama tambah membunuh kesadaran, dan waktu luang semakin dipersedikit karena berpotensi buang-buang uang.

Kegiatannya begitu saja, tidak berbeda dengan dulu-dulu. Nonton bioskop, pulangnya makan. Pasca makan, kami berbincang-bincang hingga larut malam. Kebetulan ini adalah kawan setia dari sejak SMA bahkan SMP. Sudah nyaris sepuluh tahun kami bersama, dan nonton-setelah-itu-makan masih menjadi menu jalan-jalan utama. Setelah nonton di Ciwalk (film berjudul The American), kami mampir di warung sate Pak Gino daerah Jl. Sunda, dekat rel kereta. Kami, totalnya berlima, memesan sate buntel, gule tulang, dan tempe mendoan. Tidak ada yang istimewa, seperti biasa, kami makan sambil diiringi ketawa-ketawa. Denting sendok-garpu beradu, dengan sesekali celetuk kecil minta tolong diambilkan ini-itu. Kami makan dengan cara yang sama dengan sepuluh tahun lalu, tidak ada yang mentang-mentang sudah kerja lalu uangnya banyak, lantas makan dengan table manner atau jaim berlebihan.

Kawan lama adalah orang yang menempatkan saya pada situasi nostalgia. Kehadirannya menjadi indah justru ketika kami membiarkan kebiasaan-kebiasaan lampau yang hadir. Saya sekarang pastilah sudah berubah dari sepuluh tahun lalu. Sekarang saya bekerja, punya uang dan tabungan, punya rencana melamar seorang wanita, punya pemikiran filosofi tentang dunia, atau barangkali punya solusi bagi perbaikan negara. Tapi bukan cerita-cerita macam itu yang membuat pertemuan dengan kawan lama menjadi hangat. Melainkan kala kami sama-sama mengenang, kala kami sama-sama bersikap bak remaja yang rajin mengejek satu sama lain, membicarakan wanita seksi yang kebetulan lewat, ataupun mengeluhkan apa-apa yang menindas kami (dulu sekolah, sekarang para bos).

"Kenangan, adalah semacam pertemuan," demikian kata Gibran. Ketika kita sama-sama mengenang, sesungguhnya kita janjian dalam satu ruang-waktu baru yang diciptakan bersama. "Inget gak, waktu kita ke Bali, waktu itu si anu..," demikian celetuk Karel, salah seorang dari kami. Maka ketika itu juga, Karel mengonstruksi suatu kejadian masa lalu. Ia menciptakan suatu ruang-waktu dan mengajak kami semua berkumpul kesitu. Tinggalkan sejenak warung sate ini kawan-kawan, karena apa yang riil seringkali merepotkan. Apa yang riil selalu bergerak ke depan, menuju kematian, menuju keabsurdan, menuju konflik yang tiada berkesudahan. Sekarang kita muda lagi, berpakaian seragam lagi, tiada uang hati tetap senang. Tidak perlu berpikir hidup ini darimana dan mau kemana, besok makan apa, lusa janjian sama siapa, karena kita semua adalah budak Epikuros yang cuma ingin merebut hari ini. Carpe Diem.

Ada celetukan menarik saat pertemuan kami menjelang berakhir, "Dulu kita ngomongin kuliah, sekarang ngomongin kerjaan, nanti mungkin kita ngomongin istri, anak, dan penyakit-penyakit yang menggerogoti kita." Itu betul sekali, karena tempus mutantur, et nus mutamur in ilid. Waktu berubah, dan kita ikut berubah di dalamnya. Tapi tak ada satupun dari kami yang berani melunturkan ingatan tentang masa-masa berbaju SMA. Karena satu hal, kami percaya bahwa surga bukan sebatas onggokan asa di masa depan, tapi juga sebentuk cahaya temaram dari masa lampau.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...