Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Topeng


Kita sering mendengar cibiran tentang orang yang “bermuka dua”. Maksudnya jelas: di depan kita bersikap manis, di belakang kita mungkin berkata lain. Tapi jika dipikir-pikir, tuduhan “bermuka dua” itu meremehkan kenyataan yang lebih kompleks. Orang jarang hanya punya dua wajah. Kita punya belasan, mungkin puluhan. Setiap wajah adalah topeng yang kita kenakan untuk memenuhi tuntutan lingkungan dan kondisi sosial yang berbeda. 

Topeng itu bukan selalu kebohongan, melainkan keterampilan bertahan hidup. Saat bekerja di bidang yang penuh tekanan seperti menghadapi klien yang kasar, menegosiasikan kontrak, atau memimpin tim yang sulit diatur. Dalam kondisi-kondisi demikian, kadang kita tidak bisa membawa seluruh empati dan kelembutan yang kita miliki. Terlalu banyak belas kasih di ruang yang penuh kompetisi bisa membuat kita dimanfaatkan. Sebaliknya, di rumah atau dengan orang terdekat, kita mungkin menanggalkan topeng keras itu dan mengenakan yang lebih ramah, hangat, atau rapuh. 

Bahkan saat berbicara dengan orang yang berbeda, kita menjadi orang yang berbeda pula. Kepentingan si A tidak sama dengan si B. Bahasa, nada, bahkan gestur kita menyesuaikan. Dengan orang tua, mungkin kita menjaga tutur kata. Dengan sahabat lama, kita membiarkan bahasa bercampur gurauan dan candaan kasar. Dengan atasan, kita menjaga formalitas. Apakah ini berarti kita berpura-pura? Tidak selalu. Kita hanya meminjam peran yang sesuai untuk panggung tertentu. Sama seperti aktor yang memerankan berbagai karakter, kita menghidupkan berbagai versi diri sesuai naskah yang ada di depan kita. 

Lalu, kapan kita menjadi “diri sendiri”? Pertanyaan ini tidak punya jawaban sederhana. Dalam kesunyian, saat hanya berbincang dengan diri sendiri, kita mungkin merasa bebas. Tapi siapa bilang itu benar-benar bebas? Mungkin kita masih mengenakan topeng yang membuat kita nyaman di hadapan diri kita sendiri. Topeng yang menyaring kenyataan pahit, menata citra diri, atau menyembunyikan hal-hal yang kita enggan hadapi. 

Bahkan ketika berhadapan dengan Tuhan, topeng itu bisa ikut terbawa. Kita menyampaikan doa, permohonan, atau penyesalan dengan bahasa dan sikap yang kita yakini akan “disukai” Tuhan. Kita membentuk diri sesuai kategori “orang baik” yang kita pikir sesuai dengan harapan-Nya. Apakah itu salah? Tidak selalu. Tapi itu menunjukkan betapa dalamnya topeng itu menyatu dengan identitas kita yang begitu dalam, hingga kita pun sulit mengira mana wajah asli dan mana yang hanya peran. 

Ironisnya, hidup tanpa topeng justru bisa berbahaya. Tanpa topeng, kita membiarkan orang lain menilai kita secara mentah, serampangan, tanpa filter. Kita menjadi terlalu rentan di dunia yang tidak selalu ramah. Topeng, dengan segala konotasi negatifnya, kadang adalah pelindung yang menyelamatkan. Dan mungkin, bukan soal berapa banyak topeng yang kita punya, melainkan bagaimana kita memilih topeng yang tepat untuk bertahan, sambil memastikan bahwa di balik semua peran itu, ada inti diri yang tidak sepenuhnya hilang.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...