Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Kita sering mendengar cibiran tentang orang yang “bermuka dua”. Maksudnya jelas: di depan kita bersikap manis, di belakang kita mungkin berkata lain. Tapi jika dipikir-pikir, tuduhan “bermuka dua” itu meremehkan kenyataan yang lebih kompleks. Orang jarang hanya punya dua wajah. Kita punya belasan, mungkin puluhan. Setiap wajah adalah topeng yang kita kenakan untuk memenuhi tuntutan lingkungan dan kondisi sosial yang berbeda.
Topeng itu bukan selalu kebohongan, melainkan keterampilan bertahan hidup. Saat bekerja di bidang yang penuh tekanan seperti menghadapi klien yang kasar, menegosiasikan kontrak, atau memimpin tim yang sulit diatur. Dalam kondisi-kondisi demikian, kadang kita tidak bisa membawa seluruh empati dan kelembutan yang kita miliki. Terlalu banyak belas kasih di ruang yang penuh kompetisi bisa membuat kita dimanfaatkan. Sebaliknya, di rumah atau dengan orang terdekat, kita mungkin menanggalkan topeng keras itu dan mengenakan yang lebih ramah, hangat, atau rapuh.
Bahkan saat berbicara dengan orang yang berbeda, kita menjadi orang yang berbeda pula. Kepentingan si A tidak sama dengan si B. Bahasa, nada, bahkan gestur kita menyesuaikan. Dengan orang tua, mungkin kita menjaga tutur kata. Dengan sahabat lama, kita membiarkan bahasa bercampur gurauan dan candaan kasar. Dengan atasan, kita menjaga formalitas. Apakah ini berarti kita berpura-pura? Tidak selalu. Kita hanya meminjam peran yang sesuai untuk panggung tertentu. Sama seperti aktor yang memerankan berbagai karakter, kita menghidupkan berbagai versi diri sesuai naskah yang ada di depan kita.
Lalu, kapan kita menjadi “diri sendiri”? Pertanyaan ini tidak punya jawaban sederhana. Dalam kesunyian, saat hanya berbincang dengan diri sendiri, kita mungkin merasa bebas. Tapi siapa bilang itu benar-benar bebas? Mungkin kita masih mengenakan topeng yang membuat kita nyaman di hadapan diri kita sendiri. Topeng yang menyaring kenyataan pahit, menata citra diri, atau menyembunyikan hal-hal yang kita enggan hadapi.
Bahkan ketika berhadapan dengan Tuhan, topeng itu bisa ikut terbawa. Kita menyampaikan doa, permohonan, atau penyesalan dengan bahasa dan sikap yang kita yakini akan “disukai” Tuhan. Kita membentuk diri sesuai kategori “orang baik” yang kita pikir sesuai dengan harapan-Nya. Apakah itu salah? Tidak selalu. Tapi itu menunjukkan betapa dalamnya topeng itu menyatu dengan identitas kita yang begitu dalam, hingga kita pun sulit mengira mana wajah asli dan mana yang hanya peran.
Ironisnya, hidup tanpa topeng justru bisa berbahaya. Tanpa topeng, kita membiarkan orang lain menilai kita secara mentah, serampangan, tanpa filter. Kita menjadi terlalu rentan di dunia yang tidak selalu ramah. Topeng, dengan segala konotasi negatifnya, kadang adalah pelindung yang menyelamatkan. Dan mungkin, bukan soal berapa banyak topeng yang kita punya, melainkan bagaimana kita memilih topeng yang tepat untuk bertahan, sambil memastikan bahwa di balik semua peran itu, ada inti diri yang tidak sepenuhnya hilang.
Comments
Post a Comment