Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Bagi banyak orang, kata ritual langsung mengingatkan pada aktivitas keagamaan. Ada doa yang dibaca di waktu tertentu, gerakan yang diulang dengan teratur, aturan yang dijaga ketat. Semuanya dilakukan dengan tujuan yang sama: mendekatkan diri kepada Tuhan. Di baliknya, ada keyakinan bahwa disiplin tubuh akan melahirkan disiplin pikiran, dan dari keduanya akan tumbuh intensitas—komunikasi yang lebih padat dengan entitas yang kita percayai sebagai penjamin. Seolah, dengan mengulang pola yang sama setiap hari, kita sedang membangun jembatan yang kokoh antara dunia kita yang rapuh dan sesuatu yang kekal.
Tapi mengapa perlu ritual? Mengapa tidak kita lakukan saja sesekali, sesuai kondisi hati, dengan cara-cara yang kita kehendaki? Bukankah doa yang lahir dari ketulusan spontan juga sahih? Pertanyaan ini sering muncul dari orang-orang yang merasa lebih nyaman mengekspresikan iman atau harapan mereka secara bebas. Namun, jika kita jujur, suasana hati jarang setia. Ketulusan bisa menguap dalam semalam, niat bisa melemah hanya karena gangguan kecil. Ritual memberi kita kerangka yang lebih kokoh dari sekadar mood. Ia memaksa tubuh bergerak dulu, berharap hati akan menyusul, bahkan ketika hati sedang enggan.
Meski lekat dengan agama, ritual tidak terbatas pada urusan sakral. Dalam keseharian, kita menjalankan banyak “ritus” kecil yang tak kalah seriusnya. Menyeduh kopi di sudut tertentu sebelum memulai pekerjaan. Bangun tidur pada jam yang sama setiap hari. Memutar lagu yang sama sebelum menulis. Menata meja kerja dengan urutan yang tak pernah diubah. Bahkan seorang pemain bola yang selalu masuk lapangan dengan kaki kanan lebih dulu—atau mengetuk sepatu dua kali—adalah pelaku ritual. Kecil, nyaris tak disadari, tapi diyakini membawa tuah. Ada pula penulis yang baru bisa mulai bekerja setelah menyalakan lilin aromaterapi tertentu, atau musisi yang tidak akan merekam sebelum meminum teh dalam cangkir favoritnya.
Yang menarik, keyakinan ini tidak mudah goyah meskipun sekali-dua kali ritual itu “gagal”. Hari yang dimulai dengan kopi favorit bisa saja tetap berantakan. Gol bisa tak tercipta meski sepatu sudah diketuk seperti biasa. Tulisan bisa mandek walau lilin aromaterapi menyala. Namun, orang yang telah lama memegang sebuah ritus jarang menyalahkan ritus itu. Mereka lebih cenderung berprasangka baik: perlindungan tetap ada, hanya saja hari ini memang kurang sempurna. Ada rasa bahwa kegagalan bukan bukti runtuhnya keyakinan, melainkan bagian dari ritme hidup yang akan kembali seimbang jika ritual tetap dijalankan.
Jika dilihat lebih jauh, ritual juga punya fungsi lain yang lebih halus: ia menenangkan. Mengulang gerakan yang sama, di waktu yang sama, dengan cara yang sama, menciptakan ilusi keteraturan. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, ilusi ini bisa menjadi penghiburan yang ampuh. Ia membuat kita merasa ada sesuatu yang tetap, sesuatu yang bisa kita pegang, bahkan ketika hal lain di sekitar kita berubah tanpa peringatan.
Tentu saja, ada sisi gelapnya. Ritual yang awalnya lahir dari kesadaran bisa berubah menjadi kewajiban yang kita jalani tanpa pikir panjang. Bukan lagi sebagai jembatan menuju sesuatu yang kita yakini, melainkan sebagai pagar yang menahan rasa takut. Kita takut jika tidak melakukannya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Kita takut kehilangan keberuntungan, kehilangan perlindungan, kehilangan kendali. Di titik ini, ritual tidak lagi menjadi cara kita mengungkapkan keyakinan, tapi menjadi cara keyakinan itu mengikat kita.
Comments
Post a Comment