Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Usia saya tahun ini empat puluh. Angka yang, entah kenapa, membuat saya mulai memikirkan jejak. Jejak yang sudah ditinggalkan pada tanah kehidupan, tapi terutama jejak di hati orang lain. Baik atau buruk, halus atau dalam, sebagian jejak itu pasti ada. Hanya saja, siapa yang bisa memastikan bentuknya? Kita jarang benar-benar tahu, langkah mana yang menorehkan luka, dan langkah mana yang meninggalkan kesan indah.
Ada jejak yang menimbulkan marah, kecewa, bahkan dendam. Ada juga jejak yang entah bagaimana, menjadi kenangan hangat bagi seseorang. Masalahnya, kita nyaris tak pernah memegang peta yang menunjukkan di mana semua jejak itu berada. Kita berjalan, berbicara, bertindak, lalu berlalu, sementara di belakang, tanah itu merekam. Dan suatu hari, orang lain menemukan jejak kita di sana untuk lalu memutuskan apakah itu sesuatu yang layak disimpan atau dilupakan.
Tahun lalu, hidup memberi saya pelajaran keras ketika saya terseret gelombang cancel culture. Dalam badai itu, saya mulai melihat siapa yang bertahan di dekat saya. Aneh, sebagian dari mereka mengaku masih berada di sini karena, katanya, saya pernah meninggalkan jejak baik di hidup mereka. Hal yang membingungkan, sebab saya sendiri tidak selalu mengingat momen itu. Tidak jarang, mereka menyebut kejadian yang bagi saya terasa biasa saja, bahkan nyaris terlupakan.
Sebaliknya, ada orang-orang yang saya kira akan tetap dekat karena saya merasa sudah banyak memberi jejak baik. Saya pikir saya pernah berbuat cukup untuk dikenang hangat. Tapi rupanya, saat badai datang, yang mereka ingat hanyalah satu-dua jejak buruk, mungkin sebutir pasir di antara banyak kerikil baik. Dan butir itu cukup untuk menutupi semua yang pernah saya kira akan dihargai.
Di titik inilah saya teringat pada konsep trace dari Derrida. Bagi Derrida, trace bukan sekadar bekas yang tertinggal, tetapi tanda yang selalu mengacu pada sesuatu yang tidak sepenuhnya hadir. Jejak, dengan kata lain, adalah absensi yang membekas. Kita meninggalkan sesuatu yang bagi kita mungkin terasa utuh, tapi di mata orang lain sudah berubah bentuk, ditafsirkan ulang, bahkan bercampur dengan memori mereka sendiri. Jejak kita di hati orang lain tidak pernah murni milik kita—ia adalah hibrida antara yang kita tinggalkan dan yang mereka rasakan.
Itu artinya, bahkan ketika kita berniat meninggalkan kesan tertentu, trace itu akan selalu memanggul sedikit “ketidakhadiran” kita. Ia akan dimodifikasi oleh waktu, pengalaman, dan luka atau kegembiraan orang tersebut. Mungkin ini sebabnya ada orang yang memaafkan kita tanpa kita tahu kesalahan apa yang mereka maafkan. Dan sebaliknya, ada yang menyimpan kemarahan pada kita, padahal kita sendiri tak ingat pernah melakukan sesuatu yang layak dimarahi.
Hidup memang aneh. Langkah yang kita jalankan kadang terasa mantap, tapi jejaknya bisa saja samar atau justru terdistorsi di mata orang lain. Ada jejak yang ingin kita hapus tapi membekas selamanya. Ada jejak yang ingin kita simpan, tapi hilang tanpa sisa. Mungkin, pada akhirnya, kita tidak pernah benar-benar berjalan di tanah kita sendiri. Kita berjalan di tanah orang lain, meninggalkan tanda yang akan mereka tafsirkan sesuka hati. Dan kita tak punya kendali penuh atas itu.
Comments
Post a Comment