Skip to main content

Makanya, Mikir! (2025): Cara Populer Menghidupkan Neoliberalisme Intelektual dan "Filsafat Babi"

Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri.  Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...

Stimulan


Bagi saya, menulis tanpa kopi dan rokok hampir mustahil. Pahit hangat kopi di lidah, kepulan asap rokok yang mengambang pelan di udara. Keduanya seperti pasangan kunci yang membuka pintu kreativitas. Tanpanya, saya sering merasa mesin pikiran berjalan lebih lambat, kalimat-kalimat tersendat, ide-ide enggan muncul. Apakah ini hanya kebiasaan? Atau sudah menjadi ketergantungan? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, hampir tidak pernah saya memulai menulis tanpa mereka di sisi. 

Saya rasa setiap orang punya stimulan versinya sendiri. Ada yang tidak bisa memulai hari tanpa teh manis, ada yang butuh musik instrumental sebelum mengerjakan tugas, ada pula yang merasa perlu “ritual” kecil seperti merapikan meja, menyalakan lilin aroma terapi, atau membuka media sosial sebentar. Stimulan di sini bukan hanya soal zat atau makanan, tapi bisa berupa tindakan, suasana, bahkan benda tertentu. Ia menjadi semacam tombol “ON” bagi otak dan tubuh. 

Yang menarik, kapitalisme tampaknya tidak hanya memahami kebutuhan ini, tetapi juga membentuknya. Kita dibanjiri iklan yang mengasosiasikan stimulan dengan kesuksesan dan produktivitas. Kopi instan dengan slogan “Untuk harimu yang lebih baik”, sereal instan yang berkata “Awali harimu dengan energi”, minuman isotonik dengan “Semangat yang tak ada habisnya”, bahkan gadget yang menjanjikan “Work smarter, not harder”. Semua membisikkan pesan yang sama: tanpa produk ini, hari Anda tidak akan optimal. 

Di titik ini saya mulai mempertanyakan: apakah kaitannya benar-benar logis? Secara ilmiah, kafein memang bisa meningkatkan fokus sementara, gula bisa memberi energi cepat, dan alat tertentu bisa mempercepat kerja. Tapi sering kali efeknya dibesar-besarkan. Banyak “hasil” yang sebenarnya datang dari sugesti—dari keyakinan bahwa kita sudah mengonsumsi atau memakai sesuatu yang membuat kita lebih siap. Seperti plasebo, tetapi versi yang dibungkus kemasan berwarna cerah dan slogan manis.

Lebih jauh lagi, hubungan kita dengan stimulan kadang terasa mitologis. Produk tertentu menjadi semacam jimat modern: kopi “membawa” inspirasi, rokok “mengundang” ide, sepatu olahraga tertentu “memanggil” semangat, laptop merek tertentu “memacu” kreativitas. Mitos ini begitu kuat karena tidak hanya hadir di iklan, tetapi juga tertanam di budaya populer, percakapan sehari-hari, bahkan identitas diri. “Saya tidak bisa menulis tanpa kopi” mungkin awalnya adalah pernyataan sederhana, tapi lama-lama ia menjadi mantra yang mengikat. 

Saya tidak sedang mengajak berhenti minum kopi, merokok, atau menikmati stimulan apa pun yang membuat hari terasa lebih mudah. Yang ingin saya lakukan hanyalah menyadari lapisan di baliknya: bahwa kebutuhan ini sering kali dibentuk dan dipelihara oleh sistem yang lebih besar. Kapitalisme senang menjual tidak hanya produk, tetapi juga narasi, ritual, dan mitos yang membuat kita merasa butuh. Dan saat kita percaya sepenuhnya pada mitos itu, mungkin yang sebenarnya kita konsumsi bukan hanya kopi atau rokok, tetapi juga cerita tentang siapa kita ketika sedang memegangnya.

Comments

Popular posts from this blog

Honest Review

Istilah " honest review " atau "ulasan jujur/ apa adanya" adalah demikian adanya: ulasan dari seseorang (hampir pasti netizen dalam konteks ini) tentang suatu produk entah itu kuliner, buku/ tulisan, film, dan lain-lain, yang disampaikan secara "jujur". Hal yang umumnya terjadi, "jujur" ini lebih condong pada "kalau jelek bilang jelek" atau semacam "kenyataan pahit". Sebagai contoh, jika saya menganggap sebuah rasa sebuah makanan di restoran A itu buruk, saya akan mengklaim diri saya telah melakukan " honest review " jika kemudian dalam membuat ulasan, benar-benar mengatakan bahwa makanan tersebut rasanya buruk. Mengatakan bahwa sebuah makanan itu enak dan memang benar-benar enak, memang juga semacam " honest review ", tapi biasanya bisa dicurigai sebagai bentuk dukungan, promosi, atau endorsement . Jadi, saat seorang pengulas berani mengatakan bahwa makanan ini "tidak enak", fenomena semacam itu ...

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dal...

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k...