Makanya, Mikir! karya Cania Citta dan Abigail Limuria telah menjadi salah satu buku nonfiksi yang paling disukai oleh pembaca muda dalam beberapa bulan terakhir. Semangat logika, rasionalitas, dan berpikir kritis adalah pilar dalam buku ini. Sebuah seruan yang menyejukkan di tengah wacana publik yang penuh dengan perselisihan politik dan emosi. Namun, di balik ajakan yang baik itu, ada masalah: buku yang menyerukan ajakan “berpikir kritis” ini justru hampir tak pernah menjadi objek pikiran kritis itu sendiri. Penerimaannya di tempat umum menunjukkan paradoks yang menarik. Buku ini segera disambut sebagai bacaan yang cerdas tanpa perlu diuji berkat branding intelektual para penulisnya, dua figur yang terkenal di media sosial karena sikap rasional dan ilmiah mereka. Ulasan di toko buku online dan media sosial nyaris semuanya memuji. Di sinilah ironi itu muncul: sebuah buku yang mengajak untuk tidak mudah percaya , justru diterima karena kepercayaan penuh terhadap otoritas...
Bagi saya, menulis tanpa kopi dan rokok hampir mustahil. Pahit hangat kopi di lidah, kepulan asap rokok yang mengambang pelan di udara. Keduanya seperti pasangan kunci yang membuka pintu kreativitas. Tanpanya, saya sering merasa mesin pikiran berjalan lebih lambat, kalimat-kalimat tersendat, ide-ide enggan muncul. Apakah ini hanya kebiasaan? Atau sudah menjadi ketergantungan? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, hampir tidak pernah saya memulai menulis tanpa mereka di sisi.
Saya rasa setiap orang punya stimulan versinya sendiri. Ada yang tidak bisa memulai hari tanpa teh manis, ada yang butuh musik instrumental sebelum mengerjakan tugas, ada pula yang merasa perlu “ritual” kecil seperti merapikan meja, menyalakan lilin aroma terapi, atau membuka media sosial sebentar. Stimulan di sini bukan hanya soal zat atau makanan, tapi bisa berupa tindakan, suasana, bahkan benda tertentu. Ia menjadi semacam tombol “ON” bagi otak dan tubuh.
Yang menarik, kapitalisme tampaknya tidak hanya memahami kebutuhan ini, tetapi juga membentuknya. Kita dibanjiri iklan yang mengasosiasikan stimulan dengan kesuksesan dan produktivitas. Kopi instan dengan slogan “Untuk harimu yang lebih baik”, sereal instan yang berkata “Awali harimu dengan energi”, minuman isotonik dengan “Semangat yang tak ada habisnya”, bahkan gadget yang menjanjikan “Work smarter, not harder”. Semua membisikkan pesan yang sama: tanpa produk ini, hari Anda tidak akan optimal.
Di titik ini saya mulai mempertanyakan: apakah kaitannya benar-benar logis? Secara ilmiah, kafein memang bisa meningkatkan fokus sementara, gula bisa memberi energi cepat, dan alat tertentu bisa mempercepat kerja. Tapi sering kali efeknya dibesar-besarkan. Banyak “hasil” yang sebenarnya datang dari sugesti—dari keyakinan bahwa kita sudah mengonsumsi atau memakai sesuatu yang membuat kita lebih siap. Seperti plasebo, tetapi versi yang dibungkus kemasan berwarna cerah dan slogan manis.
Lebih jauh lagi, hubungan kita dengan stimulan kadang terasa mitologis. Produk tertentu menjadi semacam jimat modern: kopi “membawa” inspirasi, rokok “mengundang” ide, sepatu olahraga tertentu “memanggil” semangat, laptop merek tertentu “memacu” kreativitas. Mitos ini begitu kuat karena tidak hanya hadir di iklan, tetapi juga tertanam di budaya populer, percakapan sehari-hari, bahkan identitas diri. “Saya tidak bisa menulis tanpa kopi” mungkin awalnya adalah pernyataan sederhana, tapi lama-lama ia menjadi mantra yang mengikat.
Saya tidak sedang mengajak berhenti minum kopi, merokok, atau menikmati stimulan apa pun yang membuat hari terasa lebih mudah. Yang ingin saya lakukan hanyalah menyadari lapisan di baliknya: bahwa kebutuhan ini sering kali dibentuk dan dipelihara oleh sistem yang lebih besar. Kapitalisme senang menjual tidak hanya produk, tetapi juga narasi, ritual, dan mitos yang membuat kita merasa butuh. Dan saat kita percaya sepenuhnya pada mitos itu, mungkin yang sebenarnya kita konsumsi bukan hanya kopi atau rokok, tetapi juga cerita tentang siapa kita ketika sedang memegangnya.
Comments
Post a Comment